Chapter 88

9 0 0
                                    

Bandara Soekarno Hatta, terminal 3.

Shafa berjalan menyusuri terminal 3 menuju gate paling ujung tempat pesawat yang akan membawanya ke pulau Dewata terparkir. Di depan sana ada pak Andrew dan mas Adrian, diikuti oleh Lana dan Eva, dan juga Dina yang berjalan di sampingnya.

"Duh, ngap nih gw. Jauh amat ya gatenya." Kata Dina ngos-ngosan.

"Ehhh... katanya anak kereta, masa gini aja udah ngap? Bukannya lo pulang kerja lebih ngap lagi tuh di dalem kereta?" Balas Eva.

"Iya juga sik." Gumam Dina. Kemudian dia melirik ke Shafa, menyadari yang diliriknya ini sedari tadi tidak banyak bicara. "Eh, lo kenapa sih? Sariawan? Sakit perut? Pusing?"

"Hah?" Shafa bingung. Dia nggak merasa sakit apa-apa, cuman nggak lagi mood nya banyak omong aja. Mengingat berbagai hal berkecamuk dalam pikirannya. "Nggak apa-apa."

Dina diam mendengar jawaban Shafa dan terus berjalan mengikuti yang lainnya.

Kenapa ya, bandara itu selalu saja menimbulkan perasaan sedih pada Shafa. Mungkin karena bandara seringkali menjadi tempat berpisah?

Shafa menghela nafas panjang.

Gilang dimana ya? Masih meeting mungkin ya. Sejak kemarin siang, Shafa menanggapi whatsapp dan teleponnya dengan jawaban yang seperlunya. Walaupun di dalam hatinya, begitu banyak yang ingin ia katakan.

Apa betul yang dia rasakan? Atau karena dia merasa kesepian saja? Kenapa harus dengan sahabatnya sendiri sih?

Huff.

Seandainya semuanya bisa diatur. Dia tidak mau punya perasaan ini pada Gilang. Akan terlalu rumit. Dan terlalu banyak yang dipertaruhkan.

Wuss.

Seorang cowok ber-tshirt dan bercelana pendek berjalan melawan arah melewati mereka dengan cepat sampai seolah menghasilkan angin yang menyibakkan rambut geng rempong.

"Buset, telat kali tuh ya. Buru-buru amat. Untung wangi." Kata Dina.

"Hush." Potong Shafa sambil menengok ke cowok yang barusan lewat. Kayak kenal.

"Sendy!"

Deg.

Jantung Shafa seolah berhenti berdetak mendengar nama itu. Seorang cowok yang berjalan berlawanan arah dengan mereka mengejar cowok yang barusan lewat tadi sambil melambaikan tangannya.

"Woy, telat juga lo?" Cowok bercelana pendek yang sepertinya bernama Sendy itu menengok dan tersenyum kepada cowok yang memanggilnya.

Oh my God.

Is that who I think it is?

Itu Sendy!

Shafa membuang mukanya dan meneruskan berjalan dengan raut muka kaget. Wajah dan gayanya masih seperti yang dulu. Hanya bertambah kerutan tanda kematangan usia. Gaya rambutnya masih sama, wanginya, yang tercium oleh Shafa saat dia lewat tadi, pun masih sama. Tidak salah lagi, itu Sendy, sang kakak kelas sekaligus mantan Shafa di SMU yang meninggalkan Shafa untuk melanjutkan kuliah di Amerika.

"Fa, napa sih lo? Kayak abis ngelihat hantu?" Tanya Dina.

"Din... ya ampun..." Shafa memegang tangan Dina sambil terus berjalan."Tangan lo dingin banget sih!" Protes Dina. "Parah, lo liat penampakan ya?"

Shafa menggeleng, panik.

"Itu... tadi... mantan gw waktu SMU." Katanya terputus-putus.

"Hah? Yang mana?" Dina menengok ke arah Sendy dan temannya yang sedang mengantri masuk ke dalam pesawat. "Yang tadi lewat?"

Shafa mengangguk.

"Lah, terus? Nggak lo sapa?" Tanya Dina.

Shafa menggeleng.

"Samperin sana. Kali aja jodoh lo." Desak Dina.

"Nggak ah, ntar kalo dia udah punya pacar gimana? Kalo dia udah kawin gimana? Kalo dia nggak inget gw gimana?"

"Ya udah nggak apa-apa." Desak Dina lagi. "Lo samperin aja dulu. Cepetan bentar lagi masuk tuh orangnya."

Shafa ragu-ragu. Gimana yaaaa... harus ngapain? Masa nyamperin terus ngomong: Hai, Sen. Masih inget gw nggak? Shafa, yang dulu nangis-nangis melepas kepergian lo di bandara, macam Cinta melepas Rangga.

"Woy, sanaaa cepetannn...."

Suara Dina menyadarkan Shafa dari lamunannya.

Shafa menarik nafas panjang dan menengok ke arah Sendy dan temannya tadi.

Terlambat. Pintu gate nya sudah ditutup.

Shafa menghela nafas kecewa. Dina ikut menengok ke pintu gate yang tadi ditengok Shafa.

"Belom jodoh." Kata Dina singkat.

Shafa terdiam dan terus berjalan menuju pintu gatenya mengikuti yang lain. Menyesal terlalu lama berpikir, terlalu takut mengambil resiko. Seandainya dia tadi langsung menghampir Sendy, bisa jadi sekarang dia sudah bertukar nomor telepon dan ternyata dia masih sendiri dan mereka bisa melanjutkan apa yang belum selesai di masa lalu.

Tapi, bukankah hati Shafa sekarang sudah dipenuhi Gilang? Kenapa masih berharap kepada Sendy? Siapa yang sebenarnya dia inginkan ada di hidupnya saat ini?

Shit.

***

Sepenggal Kisah ShafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang