Chapter 41

6 0 0
                                    

Akhir bulan.

Waktunya para accountant di atas muka bumi ini pulang telat. Lembur ditemani fast food yang baru saja diantar mas-mas delivery, sambil melototin layar komputer dengan tangan sibuk pencet-pencet kalkulator.

End of the month closing. Selisih disana, selisih disitu. Balik jurnal yang itu, adjust jurnal yang sana. Jangan lupa attachmentnya, tabel amortisasi intangible asset bulan ini.

Kepala Shafa mulai nyut-nyutan. Tadi bank balance udah reconcile belom yaaa, kok neraca nya selisih? Apa dibuang aja ke other expenses? Kalo ada yang nanya apa aja isi other expenses jawabnya? Au ah elap.

Shafa melirik jam di komputernya. Jam 8 malam. She's getting old. Udah nggak biasa lagi kerja lebih dari jam 6, capeknya luar biasa. Untung tadi pagi Shafa nggak bawa mobil, udah tau hari ini bakal lembur, nggak bakal sanggup nyetir pulang.

Ditan udah sampe rumah belum ya? Tadi terakhir telepon jam 3 sore, bilang Shafa lagi closing, sibuk berat, bakal lembur malam ini. Terus Ditan bilang, 'Ok, yang. I love you.'

Duh. Siapa yang kuat dibilang begitu.

"Shafa," Terdengar suara dari belakang Shafa. "Udah ketemu?"

Shafa nengok.

Pak Andrew. Berdiri di luar cubicle Shafa. Mukanya sama kusutnya sama muka Shafa, rambutnya sama berantakannya kayak rambut Shafa, dan lengan kemejanya sudah tergulung sampai sesiku.

"Belum, pak." Belum pak, jodoh saya belum ketemu... Apa udah pasti pacar saya sekarang itu jodoh saya?, pikir Shafa. Duh ngomongin apa sih ini? Apa yang udah ketemu? Banyak banget yang belum ketemu dalam hidup Shafa, salah satunya selisih di neraca ini. Oh, pak Andrew pasti nanyain selisih neraca.

"Are you ok?" Tanya pak Andrew sesampainya dia di sebelah kursi Shafa, setelah melihat muka Shafa yang ga karuan kusutnya.

"Ha?" Shafa bingung. Ngaku nggak nih? Ngaku aja deh. "Pusing, pak."

Pak Andrew menghela nafas dan menarik kursi lain kemudian duduk dan menatap Shafa.

"Oke, kamu pulang aja malam ini. Kita terusin besok." Katanya tenang. "Tapi besok pagi sebelum makan siang sudah closing ya, Fa."

"Iya, pak."

"Ok." Pak Andrew bangkit dari duduknya. "Kamu nggak bawa mobil kan?"

Shafa menggeleng.

"Pesen taksi dari telepon ya." Katanya pak Andrew lagi.

"Ya, pak."

Pak Andrew pun berlalu dari situ.

I wanna go home, darling. Dear guling. Kangen berat mau peluk guling, pikir Shafa.

Baru saja dia mau mengangkat gagang telepon yang ada di atas mejanya, telepon itu berdering nyaring.

Waduh. Shafa parno. Malam-malam begini teleponnya berbunyi, ada apa? Jangan-jangan pak Andrew berubah pikiran...

Angkat, enggak... Angkat, enggak...

"Halo?" Shafa akhirnya menjawab telepon itu dengan suara di lemes-lemesin.

"Lemes amat, mbak?"

Terdengar suara office boy kantor, mas Mufid, dari seberang sana. Dia biasa jaga meja resepsionis kalau Dina sudah pulang.

"Nape, mas Mufiddd..." Kata Shafa sambil mematikan komputernya.

"Ada yang jemput nih, mbak."

"Lah? Saya belom pesen taksi kok. Baru mau pesen ini."

"Bukan, mbak. Udah mbak Shafa kesini aja."

"Bukan saya kali, mas. Punya geologist di ruang meeting sana kali, mas."

"Bukann..."

"Ahh... Salah nih mas Mufid..."

"Ditunggu ya, mbak..."

Shafa menaruh gagang teleponnya. Ada-ada aja mas Mufid. Udah kelamaan deh nih mau pesen taksi lewat telepon. Udahlah, ambil dari depan kantor aja, asal jangan bilang pak Andrew.

Shafa menaruh blazernya di lengannya, menenteng tas kerjanya kemudian berjalan menyusuri lorong kantor menuju ruang resepsionis.

Shafa mendorong pintu ruang resepsion, bersiap ngomel ke mas Mufid. Lalu dilihatnya... Ditan, duduk di sofa yang ada di ruang resepsion.

"Fa," Ditan bangkit dari duduknya. "Udah selesai?"

Senyum Shafa mengembang. Lega campur excited. Nggak perlu ambil taksi dari depan kantor berarti. Terus bisa sayang-sayangan sepanjang perjalanan pulang. Eh?

"Udah." Jawabnya. "Kirain kamu udah pulang... Kok nggak bilang-bilang mau jemput..."

"Surprise." Ditan tersenyum.

Bukan cuma make up Shafa yang luntur, kelelahan yang hinggap di badannya pun ikutan luntur dikasih surprise begini sama Ditan.

"Tuh kan, mbak. Bener." Sahut mas Mufid dari balik meja resepsionis.

"Iyaaaa..." Jawab Shafa, melihat ke arah mas Mufid. "Invoice saya tadi udah belom?"

"Udah, mbak. Besok saya taruh di meja mbak Shafa deh."

"Okeee... Pulang dulu ah, mas." Kata Shafa.

"Yuk, mas." Kata Ditan.

"Yukk..." Jawab mas Mufid sambil kembali duduk manis di kursi resepsion.

Lalu Ditan pun menggandeng tangan Shafa, membawanya pergi dari situ.

***

Sepenggal Kisah ShafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang