Rp 5,350,000.
Shafa menatap dalam-dalam angka yang terpampang di layar komputernya seolah-olah tatapannya bisa menghilangkan angka itu begitu saja. Selisih neraca nya masih lima juta. Sementara jam meja nya sudah menunjukkan pukul 5.45 sore.
Duh. Shafa melirik handphonenya. Belum ada pesan yang masuk. Ditan mungkin sudah menunggu di tempat parkir.
Seandainya satu nol dari angka di hadapannya ini bisa di hapus begitu saja, Shafa nggak bakal ragu memasukkannya ke akun biaya lain-lain. Selesai urusan. Jadi inget pak Andrew, beberapa waktu yang lalu, 'Shafa, kamu jangan menghabiskan waktu seharian cuma gara-gara selisih kecil begini ya!'. Kecil darimana paaakkk, mayan itu bakal makan bakso pak kumis sebulan penuh.
Tululut! Tululut!
Bunyi telpon di meja Shafa memecah lamunannya. Jangan-jangan pak bos nih nanyain kerjaannya udah kelar belom.
"Halo." Jawab Shafa, dilemes-lemesin berharap pak bos nya di sana kasihan dan menyuruh dia pulang terus libur seminggu.
"Fa, kenapa lo lemes bener?"
Yah, si Dina, resepsionis di depan.
"Elo. Kirain gw pak Andrew. Kenapa?" Sahut Shafa nggak lemes lagi.
"Masih lama lo closing?" Tanya Dina lagi. "Ada yang nunggu nih Fa di depan."
"Dohhhh... Kalo pak Mufid bilangin deh besok aja invoice nyaaa.. Lagi ribet gwww..." Shafa pijet-pijet jidatnya. Cenut-cenut mendadak kepalanya.
"Namanya Ditan, Fa." Sahut Dina dari seberang sana. Lalu dia melanjutkan dengan suara pelan, "Cem-ceman baru bok? Cakep."
What the fish!?
Shafa menutup telponnya. Bukannya menghilang, cenut-cenut di kepala Shafa makin menjadi. Sekarang malah ditambah jantung yang dag dig dug. Ngapain ya Ditan ke atas? Awkward. Berasa pacar. Mana temen-temen makan siangnya Shafa di kantor udah pada tau Fabi, terus apa kata mereka kalo liat Shafa ditungguin Ditan di depan?
Lagi pusing-pusing gitu, datanglah bapak bos yang dari tadi ditunggu-tunggu.
"Shafa..."
"Oh, iya pak. Belom pak, sedikit lagi. Masih ada selisih nih neraca saya." Potong Shafa cepat.
Pak bos nyengir.
"Saya baru mau bilang, kamu kalo mau pulang, pulang aja. Saya ada meeting sama auditor sebentar lagi. Besok sebelum makan siang saya tunggu ya closing-annya."
Fiuh.
"Iya, pak. Besok sebelum lunch selesai." Jawab Shafa lega sambil membereskan mejanya seiring dengan si pak bos berlalu dari situ.
Good. Sekarang bisa pulang, besok pagi sampe kantor harus gerak cepat mikirin selisih lima juta ini apaan.
Shafa ngaca-ngaca sebentar, liat kali-kali ada kangkung nyangkut di gigi. Gigi bersih, check. Rambut bekas tadi digaruk-garuk mikirin selisih neraca udah rapih, check. Parfum semprot dikit, check. Rok pensil udah nggak miring-miring bekas tadi angkat-angkat kaki, check. Ganti sendal jepit bekas dari wudhu dengan high heels, check.
All is done. Mari kita ketemu mantan pacar.
Shafa bangkit dari duduknya dan berlalu menuju resepsion di depan. Terlihat Dina lagi sibuk cengangas cengenges sama seseorang di hadapannya. Dan...
Itu dia Ditan.
Dengan tampilan pulang kantornya kayak biasa. Engineer sih engineer, tapi tetep dengan kemeja lengan digulung, celana bahan, dan sepatu kantor. Fiuh.
"Tan," panggil Shafa. "Sorry, udah lama nunggu?"
Ditan bangkit dari duduknya.
"Enggak kok." Jawabnya. "Udah?"
"Iya."
Baru Shafa jawab begitu, tiba-tiba terbukalah pintu lift di seberang sana, di luar pintu resepsion. Dan keluarlah serombongan auditor dengan tampang kusut sekusut kemeja-kemeja mereka. Ntar dulu. Muka yang satu itu yang paling belakang kayak kenal? Gilang?
"Hey, man. Ngapain lo disini?" Kata Gilang ke Ditan setelah memasuki ruang resepsion, kaget.
"Jemput Shafa." Jawab Ditan, tersenyum.
Gilang nengok ke Shafa.
"Ohhh iyaaa! Gw lupa ini kantor lo ya, Fa!"
Krik, krik, krik.
"Udah selesai yem ngelap-ngelap mesin potokopi nya? Bukannya kalo centeng pulangnya belakangan ya?" Bisik Gilang sambil nyengir.
Shafa cembetut.
"Gw bingung ama lo, dari sekian banyak kantor kenapa lo mesti nyangsang di sini sih?" Jawabnya.
Gilang nyengir dan berbisik pelan lagi ke Shafa.
"Gw justru yg lagi bingung ama lo, dari segitu banyak orang di Jakarta, kenapa lo nyangsang ama dia lagi sih?"
Cubit. Shafa mencubit keras-keras lengan Gilang.
Gilang meringis menahan sakit.
"Jangan mau ama dia, Tan. KDRT." Sahut Gilang sambil nunjuk lengannya yg dicubit Shafa. Makin keraslah itu cubitan nempel di lengannya.
Ditan tersenyum.
"Gilang." Panggil salah satu teman auditornya dari pintu ruang meeting sambil kasih kode supaya buruan masuk.
"Ok." Jawab Gilang, serius. "Udah dulu ya, orang sibuk mau meeting dulu."
Shafa mencibir.
"Dah."
Gilang berlalu dari situ begitupun Shafa dan Ditan. Tinggallah sang resepsionis yang terbengong-bengong bingung.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepenggal Kisah Shafa
Genç Kız EdebiyatıShafa Fritzella, seorang perempuan berumur dua puluh lima tahun yang masih single dan available. Dia memiliki karir yang bagus, teman-teman yang perhatian, sahabat yang setia dan pacar yang kerap kali cemburu dengan hubungannya dengan sang sahabat.
