Chapter 61

5 0 0
                                    

"Kamu nggak usah pergi ke Bali, Fa."

Kata-kata itu akhirnya keluar dari mulut Ditan setelah berbagai penjelasan dan debat kusir yang dilakukannya dengan Shafa sejak empat puluh menit yg lalu.

Shafa diam.

Dia berusaha memerangi rasa ingin berontak dalam dirinya. Dia paling nggak bisa dilarang. Apalagi tentang sesuatu yang menurutnya sudah masuk kategori cuma dia yang bisa memutuskan. Dan, dannn... catet, ini kedua kalinya sejak balikan sama Ditan, dia dilarang pergi-pergi.

"Kamu sadar kan, Tan, ini kedua kalinya kamu melarang aku pergi?" Shafa akhirnya bersuara.

"Kamu sadar nggak ini juga kedua kalinya kamu nggak mendengarkan aku?"

Ditan memandang jalanan di depannya. Antara berpikir tapi juga seperti menahan kesal.

"Am I matter to you?" katanya lagi, kali ini sambil menatap Shafa. Kebetulan lagi lampu merah.

"Kok kamu ngomongnya gitu?" Shafa balik nanya, sedikit kesal.

"Kamu nggak mempertimbangkan pendapat aku."

"Kamu berlebihan." Shafa membuang mukanya, memandang jalanan di depannya.

Lampu kembali hijau.

"Am I?" Ditan balik bertanya, tidak butuh jawaban.

"You are." balas Shafa. "Emang aku bakal kenapa sih di acara itu? Aku dikelilingi orang-orang sekantor yang sudah kukenal, Tan."

Ditan diam. Justru itu, pikirnya dalam hati.

Jika wangimu saja bisa

Memindahkan duniaku

Maka cintamu pasti bisa

Mengubah jalan hidupku

Tiba-tiba, lagu Raisa dari radio mobil, memecah keheningan sesaat itu.

"Kamu nggak menganggap aku sama kayak mantan kamu kan?" tanya Shafa tiba-tiba.

Raut wajah Ditan mengeras.

"Kamu nggak bisa membiarkan kegagalan dalam hubungan kamu sebelum ini, mempengaruhi hubungan kita." lanjut Shafa.

"Nggak ada hubungannya sama dia."

"Terus, soal orang-orang kantorku ini apa?" kata Shafa nggak mau kalah, nggak mau mundur, nggak sadar kalau nada bicara Ditan sudah berubah, menahan amarah. "Bukan karena dia pernah selingkuhin kamu sama orang kantornya kan?"

"Fa!" hardik Ditan, keras. Penuh emosi.

Shafa kaget. Baru kali ini, Ditan membentaknya. Seumur hidup Shafa mengenal Ditan.

"Jangan push, ok." kata Ditan dengan suara masih sedikit emosi tapi nadanya melembut. "Jangan omongin itu lagi."

Air mata mengalir dari kedua mata Shafa tanpa disadarinya. Padahal sesaat setelah kaget tadi, dia mati-matian menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.

"Fa?" Ditan melihat Shafa yang sibuk mengelap-elap air mata dari pipinya. "I'm sorry, Fa."

Cukup sekali saja aku pernah merasa

Betapa menyiksa kehilanganmu

Kau tak terganti

Kau yang selalu kunanti

Takkan kulepas lagi

"Shit." Gumam Ditan sambil mematikan radio mobil.

Shafa semakin tidak bisa menghentikan air matanya mendengar umpatan Ditan. Bukan seperti Ditan yang biasanya.

"Fa," Ditan menarik tangan kanan Shafa.

Shafa melepaskan genggaman tangan Ditan.

Mobil itu memasuki area komplek rumahnya Shafa.

"Malam, mbak Shafa, mas Ditan..." sapa pak satpam komplek ketika Ditan membuka kaca mobilnya.

Ditan hanya mengangguk sambil tersenyum seadanya sebelum akhirnya kembali menutup kaca mobilnya.

Mereka berdua terdiam hingga akhirnya mobil peugeot merah itu sampai di depan rumahnya Shafa.

"Fa," kata Ditan lembut. "I'm sorry. Kita selesein dulu ya?"

Shafa melepas seatbeltnya.

"Aku nggak bisa, Tan. I'm sad." Katanya, menunduk.

Ditan semakin merasa menyesal dan bingung harus ngomong apa lagi.

Shafa membuka pintu mobil dan beranjak pergi dari situ.

"Goodnight, Fa." Kata Ditan.

Shafa mengangguk dan memasuki halaman rumahnya tanpa menengok lagi ke belakang.

What a night, huh?

***

Sepenggal Kisah ShafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang