Chapter 92

40 0 0
                                    

Langit menjelang sunrise memang yang paling indah.

Shafa menarik nafas dalam-dalam, menikmati terpaan angin pantai yang sejuk dan suara deburan ombak yang menenangkan hati.

Pagi ini, jam 5.30, Shafa sudah duduk manis di pinggir pantai Nusa Dua tempatnya menginap. Dia baru saja berjalan menyusuri pantai hingga ke perbatasan pantai milik Sofitel dengan hotel di sebelahnya, lalu dia merasa lelah dan duduk begitu saja di atas pasir, membiarkan pasir menempel di sendal dan celananya, memandangi birunya laut dan langit pagi ini.

Di pantai bagian sana, beberapa anak kecil sibuk berlarian ataupun bermain pasir, masih dengan piyamanya. Beberapa orang memilih bersandar di dipan yang kemarin Shafa dan teman-temannya gunakan untuk berjemur.

Huff.

Shafa memilih duduk sendiri di pantai paling ujung memandangi laut yang seperti tidak berujung. Seandainya perasaan ini bisa digenggam, Shafa mungkin sudah melempar jauh-jauh perasaan itu ke lautan di depan sana.

Setelah sekian lama jungkir balik bersama, kok bisa-bisanya sekarang dia menyukai Gilang lebih dari seorang sahabat? Dan yang lebih Shafa sesalkan lagi, bisa-bisanya semalam dia mengakui semuanya di depan Gilang. Chardonay sialan.

'What exactly are you thinking, Shafa Fritzella? Ini semua cuma euphoria.' Pikir Shafa sambil kemudian menggelengkan kepalanya seolah ingin membuat suara di dalam kepalanya itu berhenti bicara. 'Sekarang gw harus gimana? Udah patah hati, kehilangan sahabat juga.'

"Fa,"

Tiba-tiba, seseorang berdiri di sebelahnya dan menepuk bahunya. Shafa mendongakkan kepalanya.

Gilang.

Oh, shit. Shafa segera membuang pandangannya ke arah laut dan dengan cepat mengusap sudut matanya yang tadi sempat digenangi sedikit air mata. Jantungnya berdetak jauh lebih kencang. Perasaannya pun campur aduk, antara sedih, malu dan juga takut. Apa yang akan terjadi kali ini?

Gilang duduk di samping Shafa tanpa berkata apa-apa.

Untuk sejenak keduanya saling diam dan hanya memandangi laut dan langit yang mulai terlihat kekuningan.

"Fa," kata Gilang akhirnya, memecah keheningan. "Gw..."

"It's ok, Lang." Potong Shafa cepat dan spontan menengok ke Gilang. Dia merasa apa yang terjadi semalam sudah cukup mengenaskan, tidak perlu lagi kata-kata penghibur, tidak perlu juga rasa kasihan dari orang lain, dari Gilang terutama.

Gilang tidak melanjutkan perkataannya dan hanya menatap Shafa dalam. Seketika itu, Shafa seolah tersadar betapa wajah Gilang terlihat lelah. Bagian sepanjang rahangnya dipenuhi titik-titik hitam yang berarti Gilang belum sempat shaving pagi ini.

Shafa tertegun. Kenapa tangannya terasa begitu kaku hanya untuk menyentuh wajah Gilang yang tepat berada di hadapannya.

Tunggu dulu, wajah Gilang berada tepat di hadapan wajah Shafa. Semakin mendekat, seolah-olah akan menciumnya.

"Let me just..."

Gilang mendekatkan wajahnya ke wajah Shafa kemudian menciumnya perlahan tepat di bibirnya. Keduanya spontan memejamkan mata mereka dan merasakan semua yang terjadi.

This is the sweetest and gentlest kiss she has ever had. The one that is very hard to resist. Dan satu-satunya yang begitu menenangkan hatinya. For a moment, yang terdengar hanya deburan ombak dan cuitan merdu burung-burung mengiringi apa yang terpendam sejak lama.

Kemudian Gilang menatap Shafa lembut dan sambil tersenyum dia berkata,

"I want you more than friends. Way before you do."

Sepenggal Kisah ShafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang