Audrey memberhentikan langkahnya didepan pintu bercorak kayu dengan segaris kaca di sisinya yang bertengger nomor kamar bertulis 324 A Lavender. Ia menghela napasnya sesaat, lalu perlahan didorongnya pintu itu kedalam tanpa menimbulkan suara decitan.
Saliva Audrey terasa tercekat, ia kini perlahan mendekat ke sebuah ranjang khas rumah sakit yang didalamnya terbaring Alsa dengan beberapa alat bantu dan sebuah elektrocardiograf di sisi nya. Audrey menarik sebuah kursi di samping ranjang Alsa, melepas lantas menaru tas ransel sekolahnya ke lantai, lalu memandang Alsa dengan datar.
"Lo ngapain si?" Audrey menatap Alsa yang diam memejamkan matanya dengan nada ketus, alis yang menaut, akan tetapi pandangan matanya yang meneduh.
"Gue disini, lo gak mau liat muka cantik gue Sa?" gumamnya bercanda sendiri dengan menaru satu sikunya di ranjang lalu dagunya yang ditumpukan di telapak tangan. "Lo gak mau bangun? lo liat apa sih disana? pintu surga warna putih terus lo ngejar-ngejar gitu? Ya Tuhan Sa, lo masih hidup, buruan deh bangun."
Bukan karena semata-mata ia benci pada Alsa, melainkan rasa sepi dan mencekik karena harus melihat satu-satunya sahabat yang ia miliki tertidur tenang dan enggan merespon.
Audrey tak punya cara lain untuk mengajak Alsa berinteraksi, dan bukan kata-kata manis serta melankolis, melainkan ucapan sarkas yang selalu ia dan Alsa lontarkan tiap kali seperti yang ia lakukan saat ini pada Alsa sekarang walaupun keadaan temannya itu sedang berbeda.
"Alsa, gue kangen lo..." Tetapi pada akhirnya Audrey menyerah juga. Karena jujur, ia merindukan kehebohan Alsa, sifat ceria cewek itu, kebawelannya, dan segala waktu yang mereka habiskan berdua. Audrey rindu itu semua.
"Ayo bangun, Alif udah bangun, lo kapan?"
Alif yang ia dengar pun juga telah sadarkan diri ketika mereka berdua, Alif dan Alsa sama-sama telah melewati masa kritisnya. Alif yang lebih cepat siuman dan sekarang keadannya jauh lebih membaik. Tetapi berbeda dengan Alsa yang justru terlalu nyaman dalam tidurnya dan enggan merespon Audrey.
"Sa, gue bela-belain terlambat sekolah cuma buat liat lo, tapi lo malah cuekin gue, kacang banget." Audrey mengambil satu tangan Alsa yang tidak tersambung infus dan memainkan tiap-tiap jari Alsa yang terlihat banyak goresan luka dengan tatapan kosongnya itu.
"Minggu depan udah ujian praktek, terus try out, lo serius gak mau lulus bareng gue nih?"
Setelah itu hening. Hanya terdengar suara mesin bantu Alsa yang berbunyi teratur seperti alarm bom yang siap meledak.
Anggap saja di alam lain Alsa juga menjawab ucapannya. Karena begitulah harapan Audrey.
Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Menceritakan masalahnya tanpa respon Alsa pun justru membuat hal itu semakin menyakitkan untuk dirinya dan justru basa-basi konyolnya itu yang berusaha Audrey keluarkan berharap Alsa mendadak tertawa dan menjitak kepalanya sembari berbaring.
Audrey kemudian melihat arloji yang melingkar ditangannya, waktu menunjukan jam delapan pagi. Dan ia telah melambatkan diri ke sekolah tepat satu jam. Ia lalu menghela napasnya, kemudian dengan terpaksa bangun dari duduknya dan mengelus rambut Alsa yang terasa sedikit kasar.
"Gue cabut ya Sa, gak sekolah gak lulus nih gue. Lo gak mau ikut?" Audrey sedikit mengeluarkan tawa hambarnya, ia sedikit membungkukkan badan, mengecup kilas pipi Alsa dan mengucapkan selamat tinggal, lalu pergi meninggalkan Alsa sendirian karena masih terlalu pagi untuk ibu nya datang dan meninggalkan area rumah sakit menuju sekolah.
***
Audrey berjalan memasuki gerbang sekolah yang memang telah ditutup, tapi berhasil ia lewati dengan memberi segepok rokok pada satpam sekolah nya itu dengan amat-sangat-santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHO CARES?
Teen Fiction#WATTYS2019 [SEBAGIAN PART DI PRIVAT ACAK. FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jika yang kalian harapkan adalah ketika seorang laki-laki yang menjadi pusat perhatian bertemu perempuan anggun yang terbuai bujuk gombalnya, maaf, karena ini bukan cerita seperti it...