24.2. Kenangan

163 9 0
                                    

Kalau harus memilih apa yang membuat dirinya bahagia, maka Audrey akan menjawab nya dengan sebuah keluarga yang harmonis. Kebahagiaan tiada tara untuknya.

"Gue dilecehin, sedangkan gak ada yang peduli soal itu."

Bukan seperti apa yang sekarang menjadi kehendaknya. Orang tua yang sudah berpencar, dan kasih sayang yang kurang dari kedua orang tuanya. Audrey butuh kebahagiaannya kembali, setelah direnggut paksa hingga ia tak mampu berdiri.

Lucas melipat bibirnya. Sangat paham apa yang membuat Audrey berperilaku seperti ini.

"Dan semenjak gue denger nyokap ribut sama bokap lewat telepon padahal mereka beda benua, gue gak pernah tau apa yang mereka omongin. Selain satu, nyokap pernah bilang sama bokap lewat telepon, kalo gue harus miliki apa yang jadi hak gue. Gue anak kandungnya, gue anak pertamanya, gak ada alasan logis buat bokap ngelak. Gue gak pernah tau maksud ucapan nyokap yang satu itu saat dia pake logat Amerika nya sama papa apa. Yang jelas, kalau lo simpulin garis besarnya, itu sama kaya warisan bukan? tapi gue gak pernah tau apa warisan itu.

"Keributan itu makin jadi. Sampai lama setelah itu, sekitar.. sembilan atau setahun kemudiannya, nyokap bilang, gue harus ke Jakarta. Alasannya? ya gue gak tau. Pokoknya gue harus kesini."

"Suruhan siapa lo kesini?" tanya Lucas, dengan tangan yang secara tak sadar sedari tadi sudah asik memilin rambut Audrey yang terlepas dari cepolan.

Audrey menoleh, menghembuskan napasnya. "Papa."

"Tapi, dari awal gue udah tanamin sama diri gue, gue benci papa. Makanya, hari pertama gue kesini, gue justru nginep di apartemen Alsa. Karena malemnya gue ke club. Dan saat gue balik, gue diomelin abis-abisan sama papa. Kita baru pertama ketemu lagi setelah bertahun-tahun. Dan justru gue ribut sama dia setelahnya, dan bilang, gue gak punya moral karena di asuh mama. Dan papa mutusin, sekolahin gue lagi disini.

"Gue hilangin kepercayaan setiap orang Luke, karna gue kehilangan kepercayaan dari setiap orang. Gue, gak pernah percaya siapa-siapa."

Audrey menunduk. Menahan rasa sedihnya sendiri dengan melipat kedua bibir rapat-rapat saat ia mengingat tentang keluarganya, apalagi mama nya. Ia tahu mama nya bukanlah orang baik. Namun, apapun itu, Nadin tetaplah ibu kandungnya. Dan ia menyayanginya. "Kalau lo gak kuat lanjutin, gue gak maksa kok," ucap Lucas, mengerti dan membawa Audrey dalam pelukannya.

"Lo tau, gue ngerasa spesial lo cerita ke gue panjang gitu. Padahal lo bilang lo gak mau ngomong." Lucas tertawa, dengan dagu yang lalu ia taru di puncak kepala Audrey.

Audrey menenggelamkan kepalanya di dada Lucas. Menangis. Padahal ia pernah berjanji pada dirinya sendiri kalau ia tak akan melakukan hal itu didepan orang lain.

"Jangan nangis elah."

Namun tangis Audrey semakin menjadi walau tanpa suara. "Jadi waktu lo ke makam sampe nangis gitu? itu makam Amora?" tanya Lucas, berusaha membuka obrolan untuk menenangkan Audrey.

Audrey mengangguk keras, "Sedangkan lo ngapain di makam?"

"Nyekar ke makam temen, yang udah ninggalin gue juga."

Masih dalam dekapan Lucas namun dengan tangis yang mereda, Audrey bertanya, "Siapa namanya?"

"Marcell." jawab cowok itu yang sedang asik menciumi puncak kepala Audrey, yang mendapat anggukan samar dari sipemilik kepala. "Rambut lo wangi"

Audrey bergumam, tapi justru menanggapi hal lain, "Gue juga punya temen, udah meninggal. Dia sahabat kecil gue banget. Gue tadi mimpiin dia, apa karena gue belum nyekar ke makamnya ya? abis gue gak tau makamnya dimana."

WHO CARES? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang