Audrey kini telah tiba di depan rumah nya. Rumah berlantai dua dengan gaya skandinavia yang sudah beberapa tahun ia tinggali. Audrey berjalan memasuki area halaman rumah nya. Suasana sejuk masih ia dapatkan disini walau ada beberapa hal yang telah banyak berubah. Audrey lalu menaiki beberapa undakan tangga, pembatas antara halaman dan beranda rumahnya.
Ketika kaki nya sudah menginjak undakan tangga terakhir, ia kemudian berniat untuk menekan bel di sudut kanan kusen pintu. Namun lantas ia urungkan karena masih ada rasa benci yang hadir dalam dirinya ketika mengingat masa kelam yang telah lalu itu. Semuanya terjadi disini.
Ia memilih memejamkan mata nya sejenak dan menghela napas sebelum benar-benar yakin dengan keputusannya ini. Kembali ke tempat dimana semua masa senang dan kelam itu terjadi memberi efek trauma tersendiri untuk Audrey. Segala teriakan emosional pertengkaran kedua orang tua nya terputar dalam benaknya, suara tawa bahagia adik dan sahabat lelakinya disana, suara tangis ketika adiknya berhenti bernapas dan dipanjatkan doa, suara panggilan 'sah' ketika dengan jelas ia lihat papa nya menikah kembali, saat dimana ketika ia di damprat dari rumahnya sendiri. Tangis ketakutan saat papa nya memilih cerai dengan ibunya. Semua terekam jelas disini. Hal itu yang sebetulnya Audrey gelisahkan ketika papa nya justru meminta ia kemari melalui ibu nya.
Tangannya dengan ragu memegang bel pintu itu, tapi, baru saja ingin menekannya, tiba-tiba suara pintu terbuka dari dalam membuatnya terkejut dan membuat Audrey memundurkan langkahnya ketika mendapati pintu terbuka dari dalam dan muncul nya seorang perempuan dua tahun dibawah umurnya dengan dirinya berdiri disana.
"Audrey?" perempuan itu membinarkan matanya sambil menunjuk Audrey.
Melihat perempuan itu kini berdiri dihadapannya sambil meyebut namanya, jelas membuat Audrey mendengus. Ia kemudian memutar bola matanya lalu menumpu tangan kanannya di pinggang sedangkan tangannya yang lain memegang gagang koper.
"Minggir," Audrey berua dingin sambil alisnya terangkat sinis. Ia benar-benar tak sudi melihat wajah orang dihadapannya ini.
"Drey," orang dihadapannya itu mencoba memanggil, namun Audrey masi tetap bergeming dengan malas.
"Ini aku Ra—"
"Gue bilang minggir lo paham gak sih?!" nada suara Audrey meninggi dengan ketus, lalu ia segera saja memaksakan langkahnya untuk masuk yang membuat perempuan itu terpaksa agak menyingkir di ambang pintu.
Rachel. Nama prempuan yang tadi terus memanggil Audrey yang kini telah masuk ke dalam rumah. Audrey jelas mendengar suara gadis itu masih memanggil namanya, namun ia enggan menjawab panggilan itu sampai satu tangannya tiba-tiba tertarik kebelakang yang membuat badannya ikut terbalik paksa.
"Sampai kapan sih kamu kaya gini?" tanya Rachel parau dihadapan Audrey dengan cengkraman tangannya di lengan perempuan itu.
Audrey kemudian bedercak tak suka sambil menyingkirkan paksa tangan Rachel dari lengannya itu.
"Terus sampai kapan lo mau tinggal disini hm?" hardik Audrey menahan emosi tak suka dengan menatap nyalang mata indah Rachel yang sudah berkaca-kaca.
"Ini rumah kita Drey," ungkapnya namun tak mendapat persetujuan dari Audrey.
Audrey tertawa sinis, "Sejak kapan ha?!" Audrey menjeda kalimatnya sesaat. "Ohh, sejak nyokap lo ketauan simpanan—"
PLAK
"Brengsek ya lo!" satu tamparan dari Rachel cukup membuat Audrey terpengarah sekarang. Ia kemudian memegang sudut bibir nya yang ternyata sedikit mengeluarkan darah yang dihasilkan dari gesekan kuku panjang Rachel."Kamu yang brengsek!" Rachel meninggikan suaranya sambil napas nya terengah-engah karena menangis.
Audrey tersenyum kecut, lalu menunjuk jari nya tepat ke depan wajah Rachel membuat gadis itu sedikit memundurkan langkahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
WHO CARES?
Fiksi Remaja#WATTYS2019 [SEBAGIAN PART DI PRIVAT ACAK. FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jika yang kalian harapkan adalah ketika seorang laki-laki yang menjadi pusat perhatian bertemu perempuan anggun yang terbuai bujuk gombalnya, maaf, karena ini bukan cerita seperti it...