Housemate : Min Yoongi (3)

3.4K 156 6
                                    

Aku menautkan kedua tanganku, kepalaku menunduk. Aku merasa menjadi orang yang paling jahat di dunia. Membuat dua orang pria terjebak dalam hidupku yang berliku. Park Jimin, kekasihku yang baik hati, yang tidak pernah memiliki salah sedikitpun padaku selama ini. Aku justru menghianatinya dengan membagi tubuhku bersama Min Yoongi. Perhatian Jimin yang kurang, jarang menelpon, dan belum sempat bertemu hingga 3 bulan, bisa jadi alasanku untuk melakukan itu. Tapi aku tetap menjadi orang yang jahat walaupun dengan alasan semacam itu. 

Masalah hubunganku dengan Jimin tidak sesederhana itu, tidak seklise karena perhatian dan komunikasi yang kurang. Sejak pertama, aku selalu merasa bahwa dunia kami berbeda. Park Jimin dengan semua dunianya yang normal, bahkan cenderung bahagia. Sedangkan aku? Jauh dari normal, apalagi bahagia. Memiliki senyumnya adalah anugrah. Sejak awal aku tidak ingin merusak senyum indahnya. Karena itulah, aku tak ingin menjadikan diriku beban untuknya. Aku menipunya dengan memasang senyum di atas semua tekanan hidup yang aku alami setiap kami bersama. Jimin tak pernah kuizinkan untuk mengetahui masalah hidupku sekecil apapun. Aku tidak mau kehilangan senyumnya. Awalnya aku mengira ini sebagai perasaan cinta. Hingga Yoongi datang dalam hidupku.

Cinta bukan bertepuk sebelah tangan. Cinta seharusnya tidak membuatmu memiliki topeng apapun. Jika kau tidak mempercayai seseorang untuk menerimamu apa adanya, kau serakah. Kau ingin memilikinya tanpa dia bisa memilikimu. Aku terus teringat kata-kata dari Min Yoongi. Itu yang kurasakan pada Jimin. Aku dan Jimin tidak pernah berbagi. Sudah kukatakan, dunia kami sungguh berbeda. Hanya aku yang bisa masuk ke dalam pergaulannya, tanpa dia yang mengenal duniaku. Awalnya aku puas dengan keadaan ini. Tapi ternyata tidak. Aku tetap merasa sendiri. Bukankah itu sangat menyakitkan? Memiliki kekasih yang begitu sempurna, tapi tetap merasa sendiri. 

"Aku menghargai setiap keputusanmu," ucap Yoongi sambil memegang tanganku yang masih bertaut di atas pangkuanku sendiri. Kami berada di dalam mobil, di depan sebuah cafe di dekat kampusku. Sekarang aku akan bertemu dengan Jimin. Aku ingin menyelesaikannya. Aku tidak bisa berpura-pura menjalani semua ini dengan baik-baik saja. 

Yoongi menatapku lekat. Aku tahu dia gugup juga, sama sepertiku. Aku tahu bahwa Yoongi juga tidak ingin kehilanganku. Tapi sejak awal dia tahu bahwa aku memiliki kekasih, dan dia sadar aku hanya menjadikannya yang kedua. Aku hebat bukan? Dikelilingi dua pria yang seolah berlutut padaku. Tapi sungguh, sulit sekali berada pada situasi seperti ini. Aku tahu kepada siapa hatiku berlabuh. Namun logika dan pikiranku membimbingku untuk tidak memilih sesuai kehendak hatiku. 

"Yoora...," ucap Jimin sambil tersenyum begitu melihatku menghampirinya. Aku mengamati wajahnya yang semakin tirus. Ada perbedaan pada senyumnya yang tersungging untukku. Debaran jantungku semakin kencang ketika dia mulai mengamatiku. Rasanya aku ingin segera mengaku saja bahwa aku telah berselingkuh, dan memang itu niatku bertemu dengannya hari ini. 

"Maafkan aku baru sempat menemuimu di sini," ucap Jimin masih dalam posisi yang sama. Ini aneh. Dia tidak berusaha memegang tanganku, bahkan dia tidak memelukku seperti biasa. Yang dilakukan Jimin hanya terus memandangiku, dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. 

Sejenak terputar kembali kenangan kami saat di Busan. Bagaimana dia mendekatiku, mengantarku pulang, dan kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukannya dulu. Bibirku mengatup dan air mataku menetes perlahan. Hatiku rasanya tersayat menyadari aku benar-benar bukan orang yang baik untuk pria seperti Jimin. Melihatku menitikkan air mata, Jimin membuang mukanya. Aku tahu, dia juga menitikkan air mata, sama sepertiku. Apakah aku sudah menjelaskan dengan bibirku? Belum. Tapi sepertinya Jimin bisa dengan jelas membacanya dari mataku. Tuhan, aku telah benar-benar menyakiti orang baik sepertinya.

"Aku tahu," ucap Jimin sambil mengusap kasar air matanya. Tangisku semakin pecah. Bukan lagi tetes air mata yang jatuh, tapi telah menjadi aliran air mata yang deras walau aku masih bisa mengontrol suaraku. Jimin menengok Yoongi yang berada di mobil, di sebelah trotoar yang masih terlihat dari tempat kami.

"Kau mencintainya, bukan aku," kata Jimin sambil menunjuk Yoongi dengan matanya. 

"Maafkan aku....," sangat terbata mengatakan sebuah kalimat ketika tangisku semakin menjadi. Banyak jalan untuk mengetahui adanya sebuah penghianatan. Aku tak lagi penasaran bagaimana Jimin mengetahui bahwa hatiku telah berpaling. Yang aku pikirkan adalah bagaimana bodohnya aku sekarang. Ingin rasanya aku berlutut dan meminta maaf pada Jimin sekarang juga. Meminta hukuman atas perasaan yang salah terhadap Yoongi. 

"Sejak awal aku tahu aku tidak pernah memiliki hatimu," kata Jimin, membuatku semakin merasa menjadi wanita paling jahat di dunia. "Aku kira aku bisa memilikimu seiring berjalannya waktu, tapi ternyata salah. Aku tak pernah bisa masuk ke dalam duniamu, tidak pernah bisa mengertimu, dan tidak pernah ada ketika kau sedang membutuhkan seseorang."

"Jimin...."

"Ribuan kali aku mengumpatkan namamu, tapi aku tidak pernah bisa membencimu, walau aku tahu kau telah bersama pria itu. Aku bahkan sengaja membatalkan proses kepindahanku ke Seoul. Percuma, kau bukan lagi untukku."

"Jimin, maafkan aku," ucapku sembari menggenggam erat kedua tanganku sendiri.

"Bohong kalau aku bilang aku merelakanmu dengannya. Tapi aku tidak bisa berbuat apapun selain itu. Memaksamu tetap berpacaran denganku tidak bisa mengembalikan kebahagiaan kita seperti dulu."

"...."

"Aku melepaskanmu."

"....."

"Silahkan bersamanya. Aku akan pergi ke Kanada hari ini, menerima perjodohanku yang sempat tertahan karena aku mempertahankan dirimu."

Kalimatnya benar-benar menamparku dengan keras. Inilah yang membuatku merasa kami semakin jauh. Keluarganya merupakan keluarga terpandang, dan sejak kami berkencan, aku tidak yakin bisa bersamanya selamanya. Aku hanya wanita miskin yang tidak mungkin masuk dalam foto keluarganya yang berharga. 

"Haah, sudahlah. Inilah hidup. Aku akan banyak belajar dari ini semua," kata Jimin yang kutebak sebagai kalimat pengakhir pertemuan kami. Dia kemudian beranjak dan berdiri di depanku, mengusap lembut kepalaku dengan tatapan sayang. Tapi itu justru semakin melukaiku. 

"Paling tidak, kita pernah bahagia bersama. Semoga kita tidak saling mengingat dalam hal yang buruk," kata Jimin melembut.

"Selamat tinggal," ucap Jimin lalu beberapa saat kemudian meninggalkanku tanpa memberi kesempatan untukku mengucapkan sepatah katapun. Aku menatap punggungnya semakin menjauh. Kulihat dia melambaikan tangan pada Yoongi yang terus mengamati kami dari dalam mobil. Aku bisa melihat Yoongi yang menatap Jimin heran karena tiba-tiba menyapanya. 

Bukan perpisahan dengan Jimin yang membuatku sangat terluka. Tapi bagaimana aku menyakiti hatinya, membuatku merasa teriris. Aku merasa menjadi wanita yang paling mengerikan di dunia. Tapi jika aku mempertahankan hubunganku dengan Jimin, akan semakin membuatku menjadi orang terjahat. Karena ketika aku memilih tetap bertahan dengan Jimin, Yoongi tetap tidak akan mau melepasku. 

"Kau bisa berpacaran dengan Jimin dan aku. Aku tidak akan menganggumu ketika bersamanya." 

Kata-kata Yoongi masih terngiang apik di telingaku. Dan kata-kata itu membuatku tidak memiliki pilihan lain selain melepas Jimin. Semua butuh waktu. Aku yakin akan ada wanita baik yang bisa mencintai Jimin, tidak sepertiku. 

Yoongi menggenggam tanganku ketika aku sudah sampai ke dalam mobilnya lagi. 

"Cup... Sudah... sudah," ucapnya sambil menepuk bahuku. "Setelah ini aku akan selalu membahagiakanmu, jangan menangis lagi."

Tapi aku justru semakin mengencangkan tangisku. Aku harap kisah ini akan berakhir bahagia. Aku benar-benar mencintai Min Yoongi. 

Lost in Your Love (BTS Oneshots) [M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang