10. Surat Dari Mama

94 7 0
                                    

Nessa sudah agak tenang, tangisnya pun tak seperih saat pertama mengetahui mamanya meninggal. Hanya isakan kecil yang tersisa, Nessa juga sudah duduk dan Hindra merangkul bahu Nessa untuk menguatkannya tanpa banyak bicara.

"Kenapa om rahasiain ini dari Nessa?" Nessa mulai mengontrol kesedihannya dan bertanya kepada Hindra.

"Waktu om jenguk kamu dulu di tahanan, itu satu hari setelah mama kamu meninggal. Gak ada niatan om buat sembunyiin apapun dari kamu Nes. Cuma om rasa waktu itu gak tepat, om lihat mata kamu yang kosong. Kamu pasti juga tertekan dengan kasus kamu, om gak mau nambahin beban pikiran kamu dengan berita meninggalnya mama kamu." Hindra menghela nafasnya putus asa.

"Kamu seharusnya dari awal gak mengakui bahwa kamu bersalah. Om gak menyalahkan kamu, tapi andai waktu itu kamu bisa membela diri kamu pasti gak akan begini ceritanya." Hindra benar-benar putus asa dan sedih tapi ia tak menyalahkan keponakannya atas kepergian adiknya.

"Nessa waktu itu kalut om, Nessa gak bisa apa-apa. Kak Ando juga datang memohon ke Nessa untuk mempertanggung jawabkan semuanya mengantikan dia om. Dia menjanjikan menikahi Nessa setelah keluar dari penjara, katanya kalau ia yang masuk penjara maka karir dan keluarganya yang akan hancur. Nessa makin merasa bersalah saat mengetahui kalau wanita itu meninggal. Nessa makin gak bisa mikir dan cuma bisa diam om." Jelas Nessa panjang lebar.

Hindra hanya menggelengkan kepalanya mendengar cerita Nessa, apa yang bisa di lakukan gadis kecil ini yang tanpa power kuat dari keluarganya. Sedangkan keluarga kekasihnya memiliki dukungan yang amat kuat. Andaikan ia dapat menolak saat dipindah tugaskan, pasti ia masih mampu menolong adik dan keponakannya.

"Kenyataan yang pahit dan harga yang mahal yang harus kamu bayar sekarang." Lagi Hindra menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Om dengar dia yang kamu lindungi pun kenyatanya menghianati kamu."

Nessa tertegun memandang wajah om nya, ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Kata-kata terakhir om nya membuat ia kembali teringat sesaat sebelum ia keluar ruang sidang. Siksaan terakhir dari mamanya Ando yang secara gak langsung menjelaskan bahwa Ando telah menikah.

"Sudah, sekarang kita pulang. Kamu harus istirahat." Kata Hindra lalu membimbing Nessa untuk bangkit dan pergi kearah mobil mereka.

Nessa hanya menurut saat Hindra membimbingnya menuju tempat dimana mobil mereka diparkir. Ia juga sudah terlalu lelah menangis, ia berfkir bahwa badannya membutuhkan istirahat. Mungki besok ia akan kembali menemui orang tuanya lagi.

***

Sebelum sampai di rumah, Hindra menyempatkan untuk mampir membeli makanan untuk makan siang. Saat ini siapa yang akan memasakkan makanan, di rumah adiknya sudah tentu hanya ada barang yang di tutupi kain dan berdebu. Di rumah Nessa pun gak mungkin akan ada aktifitas memasak. Dilihatnya Nessa menatap jalanan di depannya dengan tatapan kosong, tatapan yang sama saat ia dulu menjenguk Nessa di tahanan.

Kalau ingin membalaskan kekesalannya kepada Ando, mungkin saja Hindra bisa membuat Ando mendekam lebih lama di penjara. Tapi Hindra tak melakukan semua itu, ia percayakan dengan hukuman yang diberikan oleh hakim. Kalaupun ia memberikan hukuman yang lebih, itu semua tak menjamin segalanya membaik dan juga tak menjamin adiknya akan hidup kembali. Kini ia hanya belajar mengiklaskan segala hal dan berdamai dengan keadaan.

"Nes, kita sampai. Yuk turun." Kata Hindra sambil mengguncang pelan bahu Nessa.

"Huh." Nessa menatap Hindra kebingungan, sedari tadi ia hanya melamun dan terkejut ketika Hindra mengguncangkan bahunya walaupun pelan.

"Turun, kita udah sampai." Kata Hindra mengulangi.

Nessa lalu turun dari mobil Hindra dan masuk kedalam rumahnya. Ia terus melamun dan linglung saat masuk kedalam rumahnya.

(Not) An Incurable Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang