21

1.3K 86 0
                                    

Ada sesuatu hal yang mengejutkan pagi Haidar. Saat dia menuruni tangga dikejutkan oleh suara asisten rumah tangga yang ada di kamar Emi. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi.

Setelah meletakkan tas yang dia bawa, Haidar berlari menuju kamar Emi. Di sana sudah ada asisten rumah tangga yang menangis memangku kepala Emi.

"Bi, Emi kenapa?" Tanya Haidar cemas. Dia menggantikan posisi Bi Na, asisten yang khusus merawat dan membantu keperluan Emi.

"Tadi Non Emi mengeluhkan kepalanya pusing. Saat bibi keluar mengambil air untuk meminum obat, tiba-tiba saat masuk Non Emi udah pingsan."

Haidar menepuk-tepuk pipi Emi, "Em, lo dengar suara gua engga?"

Meski berusaha menyadarkan Emi namun gagal, "Bi tolong suruh Pak Andi buat nyiapin mobil. Kita bawa Emi ke rumah sakit sekarang."

Meski kesulitan Haidar membopong Emi untuk dibawa ke rumah sakit. Tidak ada hal yang ia pikirkan lagi selain cepat-cepat ingin membawa Emi ke rumah sakit.

Tidak menunggu lama Emi segera diperiksa oleh dokter. Di luar Haidar mondar-mandir dengan tidak sabar. Karena di dalam Emi diperiksa sangat lama.

Sambil menggigit kepalan tangannya, Haidar duduk dan berdiri bergantian. Sesekali dia menatap ruangan tempat Emi diperiksa.

Haidar langsung terperanjat dari duduknya saat sang dokter keluar dari ruangan itu. Melihat raut wajah dokter yang terlihat muram membuat Haidar merasa khawatir.

"Bagaimana keadaan Emi, Dok?" Tanya Haidar pada Dokter Riyan. Dokter yang biasa menangani Emi dari dulu.

Dokter mencoba tersenyum, "Kondisi Emi kurang baik. Seharusnya dia sudah dirawat di Singapura."

"Iya Dok. Tapi dia tidak mau dirawat. Apa rumah sakit ini engga bisa Dok buat merawat Emi lebih bagus?" Tanya Haidar lagi sangat berharap.

Dokter Riyan menepuk pundak Haidar maklum, "Saya juga berharap seperti itu. Tapi peralatan dan dokter yang menangani di Singapura lebih baik. Saya harap kamu cepat membujuk Emi agar mau untuk dibawa ke Singapura karena berdasarkan lab, kanker yang menggerogoti Emi sudah memasuki stadium 4. Di mana itu memasuki stadium akhir. Kalau tidak ditangani dengan cepat, nyawa Emi kemungkinan tidak bisa diselamatkan."

Haidar menghela napas lelah. Dia menyugar rambutnya hingga terlihat berantakan. Namun ia mencoba mengulas senyum pada Dokter Riyan, "Terima kasih Dok. Saya akan berusaha buat bujuk Emi."

"Ya sudah. Kamu urus administrasi dan saya akan mengurus berkas untuk pemindahan Emi ke ruang ICU." Pinta Dokter Riyan.

"ICU? Langsung di ruang itu Dok?" Tanya Haidar terkejut.

"Iya Haidar. Supaya kondisi Emi mudah terpantau."

Setelah Dokter Riyan berlalu dari hadapannya, Haidar segera mengurus administrasi agar Emi segera dipindah ke ruang ICU. Tadi dia juga sempat menghubungi omanya agar segera datang.

Saat Haidar menyelesaikan urusan administrasi dan Emi dipindah ke ruang ICU, dia duduk di bangku tunggu. Terkadang dia melihat Emi dari kaca pintu. Hatinya meringis saat melihat banyaknya peralatan yang menempel di sekujur tubuh Emi.

"Gimana keadaannya?"

Haidar yang semula menunduk, mengangkat wajahnya dan mendapati sang oma berdiri dengan wajah memerah. Haidar berdiri, "Dia masih belum sadar Oma."

"Dasar anak itu bandel dibilangin. Apa susahnya sih nurut disuruh ke Singapura?!" Widiya tampak kesal.

Haidar menarik bahu Widiya agar duduk di salah satu bangku. Dia juga mengusap bahu Widiya untuk lebih tenang.

Mantan Terindah ✓ (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang