38

1.8K 97 8
                                    


Pagi sudah datang. Namun dinginnya belum hilang. Terlebih lagi AC yang menyala dengan suhu 19 celcius membuat si gadis malas bangun.

Tapi suara berisik dari luar kamarnya membuat gadis itu membuka mata. Kamarnya memang tidak dilengkapi peredam suara sehingga apapun suara-suara yang dari luar bisa terdengar sampai dalam.

Dengan mata yang masih lengket dan setengah terpejam, Ratu membuka pintu kamarnya. Terlihat sang ayah sedang membenarkan sesuatu.

"Ayah lagi apa?" Tanya Ratu bersandar memandangi ayahnya sambil bersedekap dada.

Adrian menoleh sekilas, "Ini lemarinya rusak. Ayah mau coba betulin. Teteh udah bangun? Keganggu sama suara yang ayah buat ya?"

Ratu menggeleng, "Engga kok Yah. Emang mau bangun aja. Lagian masa teteh bangunnya siang terus, malu atuh sama Ayah. Oh iya Yah kalau rusaknya parah mending diganti aja sama yang baru. Nanti Ratu ajak deh ke tempat mebel."

"Engga usah Teh. Ini masih bagus dan bisa dipakai kok. Cuma pengaitnya aja yang rusak. Sayang uangnya juga bisa buat beli yang lain. Lagian ini tuh lemari yang ayah beli pakai gaji pertama ayah. Ibumu dulu yang minta sama ayah." Tutur Adrian menolak ajakan anaknya dengan halus.

Akhirnya Ratu mengangguk saja. Dia melihat sekelilingnya. Tidak banyak yang berubah dari 7 tahun yang lalu. Semuanya masih tertata dengan bagus dan rapi. Yang merapikannya tentu saja sang ayah. Karena sejak 2 tahun yang lalu setelah bebas dari penjara, yang dilakukan Adrian hanya kegiatan di rumah saja. Baik Ratu maupun Kevan tidak mengizinkan Adrian untuk bekerja lagi.

"Aa semalam pulang Yah?" Tanya Ratu saat melihat sepatu Kevan yang terletak rapi di depan pintu kamarnya.

"Iya. Semalam dia pulang jam 11-an lah. Ayah juga engga lihat jam. Mau bangunin kamu tapi ayah larang. Ayah lihat kamu masih capek. Oh iya semalam Zeno telepon ayah. Kalian baik-baik saja kan?" Tanya Adrian serius. Bahkan dia sampai melepaskan yang dikerjakannya.

Wajah Ratu berubah menjadi kecut. Namun dia tidak ingin jika ayahnya mengetahui apa yang ia rasakan. Sehingga Ratu memilih mengiyakan.

"Iya Yah. Kami baik-baik saja kok. Kenapa? Dia ngomong apa sama Ayah?" Tanya Ratu penasaran. Karena dia takut jika Zeno mengatakan yang sebenarnya kepada ayahnya.

"Kamu yakin?"

Namun Adrian masih terlihat ragu. Mungkin ikatan ayah dengan anak sangat terjalin kuat. Meskipun tidak sekuat ikatan antara ibu dan anak, tapi aliran darah yang sama tidak menampik kekuatan batin mereka.

Ratu mengangguk berusaha meyakinkan, "Iya Ayah. Kok nanya gitu sih? Teteh mah sama Zeno baik-baik saja."

"Kemarin gue lihat yang ngantar lo pulang dari bandara bukan Bang Zeno. Siapa?"

Ratu berjingkat saat Kevan tiba-tiba berdiri di depan pintu kamarnya, "Emang bukan Zeno yang ngantar. Udahlah. Teteh sama Zeno baik-baik kok. Aa ngga piket hari ini?"

Dengan penampilan kusutnya Kevan keluar dari kamarnya, "Engga. Gue libur hari ini. Mau ke mana?"

Mata Ratu berbinar, "Aa mau nemenin?"

Kevan menghilangkan kotoran di pelupuk matanya, "Mumpung gue libur. Siapa tahu 7 tahun engga pulang, lo lupa sama jalan."

Mendapati dirinya diledek membuat Ratu memproutkan bibirnya kesal, "Jahat banget sih A. 7 tahun engga lama kok."

Kevan mencibir, "Iya. Engga lama. Sampai gue aja lulus S-2 di waktu seengga lama itu. Andai lo engga pulang juga, mungkin gue mau ambil S-3 sambil nungguin lo."

"Udah jadi dokter aja ngapain ngambil S-3? Jangan pintar-pintar kenapa sih A? Sampai-sampai Ratu engga kebagian." Protes Ratu menggerutu.

Alis Kevan naik sebelah, "Engga kebagian apanya?"

Mantan Terindah ✓ (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang