32

1.5K 75 8
                                    

Mendapat penolakan dari Ratu membuat Haidar hanya menghela napas pelan. Diingatnya sekali lagi suasana rumah duka di keluarga Ratu yang terlihat beberapa orang masih berjaga.

Jujur berita meninggalnya ibu dari sang pacar adalah hal yang sangat mengejutkan. Rasanya masih tidak percaya. Dalam hati kecilnya dia juga merasa bersalah. Karena bagaimanapun juga Ratu kemarin memintanya untuk mengantar mereka ke tempat tahanan.

Bukan keinginannya untuk meninggalkan Ratu tapi bagaimana saat Emi juga menjadi tanggung jawabnya. Dia ingin menyelesaikan permasalahan itu tapi tentu saja tidak ketika gadis itu masih dalam suasana berduka.

Melihat bagaimana saat gadis itu tidak mau melihat wajahnya membuat hatinya terasa sakit. Terlebih lagi memang tidak ada perempuan lain yang menempati hatinya sebagai seseorang yang patut untuk dicintai.

Lamunan Haidar buyar saat ada sebuah tangan yang menepuk pundaknya. Dia menoleh lalu mengulas senyum tipis, "Kenapa bangun? Tidur lagi sana."

Emi menggeleng lemah. Dia membenahi posisi duduknya, "Kenapa Kakak kayak lagi ada masalah gitu?"

Haidar menggeleng, "Engga ada. Mending sekarang lo istirahat lagi. Tadi dengar kan apa yang dibilang Dokter Riyan kalau lo engga boleh kecapekan?"

"Kak.... cuma dengar cerita Kak Haidar aja engga bikin aku kecapekan. Ada masalah apa? Kak Ratu?" Tanya Emi pelan dengan bibir pucatnya.

Akhirnya Haidar mengangguk, "Ibunya Ratu meninggal."

Mata Emi membulat karena terkejut, "Inalillahi. Terus kenapa Kakak engga ke sana?"

"Udah. Cuma Ratu engga mau ketemu gua dulu." Ujar Haidar lemas.

"Apa karena Emi? Apa karena Kakak ngasih perhatian ke Emi jadinya Kak Ratu marah?"

"Bukan salah lo. Emang itu udah tanggung jawab gua buat ngurusin lo. Cuma gua ngerasa jadi cowok brengsek aja yang engga bisa ada saat cewek gua lagi berduka." Tutur Haidar pelan penuh penyesalan.

Sekali lagi Emi hanya memasang raut wajah bersalah. Dipegangnya tangan Haidar yang tergeletak di dekat ranjangnya dan diusapnya pelan, "Kakak engga bisa nyalahin diri kayak gitu. Semuanya udah takdir kan? Lagian kalaupun Kakak ada di sana tetap aja ibunya Kak Ratu meninggal."

Mata Haidar memicing tidak suka. Ditatapnya Emi dengan tajam, "Gua engga pernah bilang kalau menyalahkan atau menyesalkan gua atas wafatnya Tante Dahlia. Yang gua sesalkan adalah tidak adanya gua di samping Ratu saat dia terpuruk."

Mulut Emi terkatup. Dia nampak gelisah namun berusaha menutupinya, "Bukan gitu Kak maksud aku. Emi cuma engga mau aja kalau lihat Kak Haidar yang menyalahkan diri Kakak sendiri gitu."

Haidar berdiri dari duduknya, "Mending sekarang lo istirahat aja. Gua mau keluar bentar."

Emi berusaha mencegah Haidar namun laki-laki itu terlanjur keluar dengan membawa perasaan marah padanya. Sungguh tadi dia tidak bermaksud untuk berkata buruk. Tapi entah mengapa mulutnya bisa berkata dengan kurang ajar.

"Arg..." Teriak Emi dengan air mata yang terus menetes.

Isakannya semakin terdengar meski sudah ia coba untuk ditahannya. Tapi rasanya begitu menyakitkan. Terlebih dia tidak berniat mengatakan hal itu.

Kret.. Pintu terbuka dari luar menandakan ada seseorang yang masuk. Sambil menghapus sisa air matanya Emi mendongak untuk melihat siapa yang datang.

"Kamu siapa?" Tanya Emi bingung saat tidak mengenal siapa orang yang berkunjung ke ruang rawatnya.

Seseorang itu berjalan dengan angkuhnya menghampiri Emi. Dia melepas kacamata gelap miliknya lalu menatap Emi dengan senyuman misterius.

"Lo engga perlu tahu siapa gue. Cukup kenal gue sebagai sahabatnya Ratu. Gue cuma mau bilang berhenti caper ke Haidar. Lo tahu kan kalau dia udah punya pacar? Terus maksud lo nahan-nahan Haidar itu apa hah? Gara-gara sikap lo yang kecentilan gitu sekarang Haidar menyesal karena engga ada pas Ratu butuh dia. Udah puas hah karena lo bisa semakin dekat sama Haidar?"

Mantan Terindah ✓ (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang