Di dekat jendela seorang gadis tengah memandangi mawar merah yang mekar dikelilingi kupu-kupu. Kesadarannya masih ada tapi pikirannya entah melayang ke mana.
"Teh, makan yuk."
Gadis itu tersentak begitu mendengar suara adiknya. Dia menoleh ke sebelahnya yang ternyata sudah berdiri Kevan dengan tatapan sendu.
"Iya entar Ratu makan. Aa makan aja dulu." Tolak Ratu pelan. Dia memandang mawar yang ditanam ibunya kembali. Di bayangannya masih terekam jelas bagaimana telatennya sang ibu memangkas batang mawar yang mulai tumbuh tinggi. Dia juga melihat bayangannya yang dengan iseng memetik bunganya lalu dia hirup dalam-dalam.
Kevan mengusap bahu Ratu yang membuat gadis itu menoleh padanya sebentar, "Apa yang lo pikirkan?"
Ratu menggeleng lalu berbisik pelan, "Keingat ibu."
"Iya. Gue juga masih engga percaya kalau ibu bakal pergi secepat ini. Tapi kita engga boleh terus mempersulit perjalan ibu dengan kesedihan kita. Yang harus kita lakukan adalah melanjutkan hidup dan membuat ibu bangga seperti apa yang beliau inginkan." Tutur Kevan dengan nada dalam. Dia juga masih merasakan betapa pedihnya kehilangan. Tapi jika ia memperlihatkan betapa rapuhnya dia yang sebenarnya, bagaimana dia bisa melindungi dan merangkul kakaknya itu. Yang meski Ratu lebih tua darinya, namun pada kenyataannya kakaknya itu jauh lebih membutuhkan perhatian.
Kevan tidak keberatan jika nantinya dia yang akan memberikan perhatian pada Ratu selama hidupnya. Karena gadis itu satu-satunya perempuan berharga yang saat ini dia miliki.
"Iya A. Ratu juga berusaha untuk ikhlas. Karena bagaimanapun juga ibu harus tenang. Oh iya A, gimana sama urusan Aa di Columbia University?" Tanya Ratu mengalihkan pembicaraan.
"Lancar. Dua bulan lagi udah mulai pembelajaran. Gue sebenarnya engga bisa ninggalin lo gitu aja. Apalagi keadaan ayah yang engga sama lo." Tutur Kevan dengan nada rendah.
Ratu mendongakkan kepalanya, "Aa engga boleh gitu. Kan Ratu juga bakal ke London buat nerusin pendidikan di sana."
"Lo yakin mau sekolah penerbangan? Itu resikonya tinggi banget loh." Tanya Kevan tak yakin.
Namun Ratu mengangguk dengan semangat, "Iya. Ratu dari kecil pingin banget bisa nerbangin pesawat sendiri. Dan semua pekerjaan itu pasti punya resiko A. Kan kita berusaha juga sama berdoa biar semuanya lancar."
Terkekeh pelan, "Gue kadang mikir sebenarnya lo itu kakaknya atau adiknya. Satu sisi lo bijak tapi di banyak sisi lo kayak bocah."
Mendengar ejekan adiknya membuat Ratu mendengus kesal, "Ya Ratu tetehnya lah."
"Tapi sekolahnya duluan gue." Ujar Kevan sombong.
"Ya itu karena Aa aja yang terlalu-" Ucapan Ratu terhenti karena ia menyadari apa yang akan ia katakan.
Kevan menampilkan seringaian, "Karena gue kenapa? Gue terlalu pintar kan makanya gue bisa ngambil kelas akselerasi?"
Dengan gemas Ratu mencubit pinggang Kevan, "Engga usah sombong ya. Tau ah males Ratu ngomong sama Aa."
"Eh jangan ngambek dong. Eh gimana kalau kita ke cafe atau ke mana gitu buat nyari makan. Gue yang traktir." Ajak Kevan menghibur kakaknya.
Namun bukannya senang, Ratu justru menampilkan wajah sedihnya.
"Kenapa lo?" Tanya Kevan bingung. Apakah tadi ada ucapannya yang salah?
Dengan isak tangis Ratu memegang ujung baju Kevan, "A maafin Ratu ya engga bisa masak. Harusnya Ratu sebagai kakak bisa pecus ngurus Aa, tapi malah Aa yang ngurusin Ratu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Terindah ✓ (Completed)
RandomCeritanya udah tamat. Tapi meski gitu engga ada salahnya kan tetap ngasih vote nya? Kalau kata Ratu, Haidar itu bukan cowok idaman. Udah cuek, kasar lagi. Haidar, "Bikin risih tau engga?!" Ga bisa bikin sinopsis kalau penasaran langsung baca aja. Ma...