12

1.6K 106 11
                                    

Hanya bermodalkan smartphone yang dipegangnya, Haidar mencoba menghilangkan rasa bosan yang mulai menyerangnya. Di depan ada seorang gadis yang tengah berbaring di ranjang rawat.

Sejak kemarin dia yang menjaga si gadis yang masih memejamkan matanya. Raut lelah sudah pasti tergambar di wajahnya.

Ceklek. Pintu ruangan kelas VVIP itu terbuka dari luar. Masuk seorang wanita yang tak lain adalah pengasuh gadis yang sedang dia jaga.

"Haidar udah sarapan?" Tanya Endang menghampiri Haidar.

"Belum Bun." Ujar Haidar menyalami tangan Endang.

Endang menyerahkan rantang makanan yang ia bawa, "Kamu sarapan dulu aja. Emi biar bunda yang jaga."

"Nanti aja Bun. Lagian oma mau ke sini. Nanti Haidar sarapan bareng oma aja."

"Bu Widiya mau ke sini?"

"Kak Haidar.."

Mereka mendekat ke arah sumber suara. Emi mengulas senyum di bibir pucatnya.

"Kenapa Em?" Tanya Haidar karena namanya yang dipanggil gadis itu.

Emi tersenyum bahagia, "Emi senang karena semalam Kak Haidar yang jagain aku. Makasih ya Kak."

"Iya." Jawab Haidar singkat.

"Kak Haidar engga sekolah?" Tanya Emi saat melihat jam di dinding.

Haidar menggeleng, "Sekolahnya dipakai buat kegiatan kelas 12."

Emi tersenyum miris, "Andai aku juga bisa sekolah kayak orang normal lain ya."

Endang mengulas pundak Emi, "Kamu itu normal sayang. Jangan sedih kayak gitu."

"Tapi penyakitan Bun. Emi capek kalau harus ngerasain sakit terus-terusan." Lirih Emi terisak.

"Lo bakal sembuh." Ujar Haidar menenangkan.

"Kamu sudah sembuh kalau dari dulu mau dirawat lebih intensif."

Widiya masuk sambil membawa bungkusan bubur ayam yang dibuatnya dari rumah. Wajahnya terlihat kurang ramah.

"Oma.." Sapa Emi menghapus air matanya.

"Apa sih alasan kamu engga mau menjalani pengobatan di Singapura? Biaya sudah jelas ada. Apalagi?" Tanya Widiya tidak ada halus-halusnya.

Wajah Emi terlihat muram. Dari dulu Widiya memang tidak pernah mau lembut jika bicara dengannya. Selalu ketus.

"Oma..." Panggil Haidar mencoba mengingatkan omanya agar lebih halus.

Tangan Widiya terangkat menandakan agar Haidar tidak banyak bicara. Dia menatap tajam Emi, "Mau kamu apa sih? Sakit juga kamu kan yang ngerasain?"

"Emi bilang kalau dia takut Oma kalau di Singapura sendiri." Ujar Endang membantu menjelaskan.

"Terus kamu maunya apa? Haidar yang nemenin kamu gitu? Maaf cucu saya engga akan mengurusi hal tidak penting seperti itu." Sentak Widiya lagi.

Emi memberanikan diri mengangkat wajahnya, "Tapi Oma, Emi juga cucu Oma."

Widiya tersenyum sinis mengejek, "Kamu cucu saya? Yakin sekali kalau kamu cucu saya. Biarpun ada darah putra saya di tubuh kamu, tapi seseorang yang lahir dari rahim wanita penghibur tidak layak dikata sebagai cucu saya."

Haidar menarik tangan Widiya lembut, "Sudah ya Oma. Biarkan Emi istirahat. Sekarang kita ke ruang rawat Ratu bagaimana?"

Wajah Widiya berubah menjadi cerah. Dia mengangguk antusias, "Iya. Kita ke ruangan cucu mantu oma. Hah sampai lupa tadi bawa bubur buat kesayangan oma."

Mantan Terindah ✓ (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang