Bibirnya kelu, napasnya terdengar berlarian, langkahnya kaku, tangannya terangkat namun turun lagi. Yang menggambarkan perasaanya saat ini hanyalah air mata dan isakan yang tertahan. Apakah ini rasanya kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya?Bukan tidak ikhlas menerima takdir Tuhan, tapi dia merasa semua terlalu cepat dan mendadak diterima akal sehatnya. Meski dalam hati dia terus berusaha merelakan, nyatanya semua terasa berat.
Sebelum masuk ke ruangan itu, Ratu tadi sudah berjanji untuk tidak lagi menangis. Tapi dia hanya manusia biasa yang tidak bisa mengendalikan janjinya. Terlebih sel saraf pengatur air matanya tidak bisa diajak kerja sama.
Di hadapannya. Seseorang yang selalu dia panggil ibu tengah tersenyum tanpa raga seolah mengartikan jika dia pergi dengan membawa kebahagiaan. Dipandanginya lamat-lamat tubuh wanita yang telah melahirkannya, yang telah mengenalkannya pada dunia. Semua terlihat berbeda saat pertama kali dia memanggilnya 'ibu'.
Tangan itu yang kemarin baru saja digunakan untuk menyuapinya, digunakan untuk mengelus rambutnya dan digunakan untuk memeluk tubuhnya kini telah terkulai lemas. Mata itu yang awas dengan setiap pergerakan tangannya, kini bahkan sedikit saja untuk bergerak sama sekali tidak terlihat. Bibir itu yang kemarin menasehatinya, mengomelinya dan memanggilnya dengan sayang telah terkatup dengan warna yang sudah memucat.
Menyesal. Karena baru kali ini dia bisa memandangi dan meneliti betapa lelahnya ibunya selama ini tanpa ada bantuan darinya sama sekali. Dia yang sangat manja tidak peka jika ibunya merasa lelah dengan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan dirinya dari dulu selalu bermalas-malasan.
Diraihnya tangan rapuh itu dengan tangan yang masih gemetar. Hatinya terasa dingin saat merasakan betapa tangan ibunya yang juga terasa tak kalah dingin menandakan jika sang nyawa telah meninggalkan raga.
Beberapa kali dicium tangan sang ibu dengan sayang, "Ibu..bangun."
Air mata Sandra tak bisa tertahan lagi. Dia mendekat dan mengelus pundak Ratu, "Lo harus sabar ya."
Ratu mengangguk. Dia mengecup dahi ibunya dan seluruh bagian wajahnya. Ratu berusaha menerima kepergian sang ibu. Tak ingin menangis lagi.
"Sekarang mending lo temani Sandra buat nemeninTante Dahlia dulu. Biar gue sama Nathan ngurus administrasi dan pemulangan jenazah Tante Dahlia." Ujar Bayu memerintah pada Sandra.
Sandra mengangguk setuju. Ratu ikut mengangguk juga, "Iya. Makasih ya Bay, Nath. Kalian udah baik banget sama Ratu."
Bayu tersenyum, "Engga masalah Rat. Lagian walau belum pernah bertemu sama Tante Dahlia sebelumnya, tapi gue udah anggap beliau itu seperti ibu gue sendiri."
Sekali lagi Ratu berterima kasih. Setelah Nathan dan Bayu pergi mengurus administrasi dan pemulangan jenazah Dahlia, mereka segera pulang.
Di rumah ternyata sudah ada beberapa tetangga yang menunggu kedatangan mereka. Saudara dari ayahnya dan saudara angkat ibunya sudah datang terlebih dahulu. Entah siapa yang memberi kabar mengenai kematian Dahlia, tapi mereka sudah menyiapkan segala keperluan untuk pemakaman.
Saat Ratu turun dari mobil dengan badan lemas, Bayu segera membopongnya masuk. Dia meminta salah satu saudara Ratu untuk menemaninya mengantar gadis itu ke kamar. Bayu yakin jika Ratu merasa kelelahan, tapi gadis itu mengelaknya.
"Kamu pacarnya Teh Ratu ya?" Tanya saudara Ratu yang bersama Bayu.
Bayu menyelimuti tubuh Ratu dengan selimut yang ada, "Bukan. Gue temannya dia."
Perempuan itu mengangguk, "Saya Sasmi. Sepupunya Teh Ratu."
"Iya. Gue titip Ratu dulu."
Bayu yang tampak cuek membuat Sasmi berdecak kesal. Bisa-bisanya sepupunya itu memiliki teman yang seperti kanebo beku. Udah kaku, dingin pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Terindah ✓ (Completed)
RandomCeritanya udah tamat. Tapi meski gitu engga ada salahnya kan tetap ngasih vote nya? Kalau kata Ratu, Haidar itu bukan cowok idaman. Udah cuek, kasar lagi. Haidar, "Bikin risih tau engga?!" Ga bisa bikin sinopsis kalau penasaran langsung baca aja. Ma...