Kedatangan Haidar di rumah sakit tempat Emi dirawat mendapat sambutan sebuah pelukan dari Widiya. Perempuan paruh baya itu sudah menangis terisak-isak dalam pelukan Haidar.
Tak hanya Widiya, Endang selaku ibu pengasuh panti asuhan tempat Emi dibesarkan turut ada di tempat itu. Wajahnya sedikit bersih dari air mata. Karena mungkin dia lebih tegar dan bisa menerima kepergian Emi.
"Haidar, Emi udah pergi." Lirih Widiya disela isak tangisnya. Wanita paruh baya itu merasakan penyesalan karena dia tidak pernah merasa baik kepada Emi selama gadis itu masih hidup. Sedangkan sebenarnya gadis itu cucu satu-satunya yang mengaliri darah Fernandez, terlepas dari rahim siapa dia terlahir.
Seharusnya dari awal dia menerima kehadiran cucunya itu. Bukan malah mengacuhkannya. Dan sekarang tinggal penyesalan yang bisa ia tanggung akibatnya.
Tangan Haidar terulur mengusap punggung omanya, "Oma tenang dulu ya. Biar Haidar ketemu sama Dokter Riyan dulu."
Setelah omanya terlihat sedikit tenang, Haidar segera menemui Dokter Riyan di ruang kerja.
"Dokter gimana bisa adik gua meninggal? Tadi pas gua tinggal dia baik-baik saja kan." Tanya Haidar tanpa nada sopan.
Riyan berdiri dari tempat duduknya, "Duduk dulu Dar."
Haidar duduk dengan perasaan campur aduk, "Jadi gimana? Apa yang terjadi sama Emi?"
Menghela napas, "Saya dan tim dokter yang lain masih menyelidiki kasus meninggalnya Emi. Meskipun memang kanker yang menyerang Emi sudah sangat parah dan susah disembuhkan tapi kematian Emi sepertinya tidak disebabkan oleh penyakitnya itu. Ada kejanggalan di dalam meninggalnya Emi."
Kening Haidar terlipat karena bingung, "Maksudnya itu gimana sih Dok?"
"Begini Haidar. Kami menemukan suatu zat aneh pada tubuh Emi yang tidak berasal dari obat yang pihak rumah sakit ini. Ada dua kemungkinan yang menjadi hipotesis kami. Pertama, Emi memang sengaja mengonsumsi obat berbahaya tersebut. Yang kedua, ada seseorang yang memang sengaja meracuni Emi dengan obat itu."
Tangan Haidar mengepal. Dia sudah tahu jawabannya.
Emi pasti diracuni. Dan dia tahu seseorang yang pantas disalahkan dalam kasus ini.
"Tolong selidiki kematian Emi. Minta petugas keamanan memeriksa semua cctv yang ada di rumah sakit. Kalau sampai pembunuh Emi tidak ditemukan, gua pastikan rumah sakit ini akan gua tuntut atas nama Fernandez." Ujar Haidar mengancam sambil berdiri dari duduknya.
Riyan menepuk pundak Haidar, "Kamu tenang saja. Kami juga sudah bekerja sama pihak kepolisian. Kami juga sudah mengambil sampel darah dan rambut Emi untuk melakukan penelitian. Sekarang lebih baik kita mengurus jenazah Emi agar bisa segera dimakamkan."
Haidar mengangguk setuju, "Oke. Saya permisi."
Setelah berpamitan Haidar keluar dari ruangan itu menuju tempat omanya. Dari kejauhan dia melihat seseorang yang amat sangat ia kenal sedang memeluk omanya.
Dengan rasa geram dia berjalan menghampiri mereka. Setibanya di dekat Widiya, Haidar menarik perempuan itu kasar hingga terlepas pelukan mereka.
"Haidar. Kamu kenapa?" Tanya Widiya bingung.
Haidar menatap nyalang orang itu, "Mau apa lo ke sini HAH?! Lo mau pura-pura nunjukin muka simpati lo gitu?! Engga perlu ! Sekarang lo pergi dari hadapan gua."
"Had..."
Widiya mengusap tangan Haidar, "Kamu kenapa sih kok kayak gitu ke Ratu?"
"Oma. Kata Dokter Riyan, Emi pergi karena ada racun yang masuk ke dalam tubuhnya. Dan satu-satunya orang yang bisa melakukannya adalah dia. Karena engga mungkin kalau Emi melakukan bunuh diri dengan sengaja memakai racun tersebut." Ujar Haidar murka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Terindah ✓ (Completed)
RandomCeritanya udah tamat. Tapi meski gitu engga ada salahnya kan tetap ngasih vote nya? Kalau kata Ratu, Haidar itu bukan cowok idaman. Udah cuek, kasar lagi. Haidar, "Bikin risih tau engga?!" Ga bisa bikin sinopsis kalau penasaran langsung baca aja. Ma...