Sunset Smile

576 86 49
                                    

Senggani akhirnya tiba di sebuah fitnes center tempatnya membuat janji dengan Linera. Di ruang ganti, Senggani menumpahkan segala keluh kesahnya kepada Linera seputar kejadian apes yang dia hadapi saat ini.

“Makanya jadi orang itu jangan suka cepat mengambil kesimpulan. Untung aja loe nggak sempat teriakin tuh cowok copet, bisa-bisa tuh cowok dikeroyok orang tanpa tahu salahnya apa. Terus kalo sampe dia nggak terima, loe bisa dilaporin polisi tahu!” tandas Linera sambil mengikat tali sepatunya.

“Ya habis, penampilannya kayak gitu. Loe juga kalo ketemu dia, pasti langsung negatif thingking kayak gue deh. Loe bayangin aja ya, udah rambutnya gondrong, mukanya butek, matanya merah kayak lagi mabuk gitu. Dan tatapan matanya itu kayak mau nelan orang tahu nggak sih. Mirip preman lah pokoknya.” Senggani bergidik sendiri membayangkan lagi sosok cowok gondrong yang dia temui tadi.

“Nggak semua cowok gondrong itu berarti preman atau sejenisnya. Jangan suka pukul rata orang kayak gitu ah.” Protes Linera.

“Ya terus gimana dong, gue udah terlanjur nge-cap bahwa orang-orang kayak mereka itu ya orang-orang yang begitu. Dan setahu gue, orang Indonesia pun masih berpikiran sama kayak gue kalau ketemu orang yang modelnya kayak dia itu. Itu udah jadi stigma di masyarakat, dan susah untuk dirubah. Iya nggak sih?” Senggani meminta persetujuan sahabatnya itu.

Whatever lah, sama pandangan loe dan stigma masyarakat. Yang jelas gue prihatin sama orang-orang kayak dia, di-judge negatif hanya berdasarkan penampilan luarnya aja. Tanpa mau mengenal lebih jauh lagi orang tersebut, siapa tahu kan malah orang-orang kayak dia yang justru lebih bisa memanusiakan manusia itu sendiri dibanding kita.”

Wait, kok loe malah kayak yang emosi gitu sih, Lin? Kita kan lagi ngomongin orang yang nggak kita kenal,” tanya Gani yang menangkap nada ketidak sukaan pada kalimat Linera barusan.

“Sorry ya, Gan. Tapi gue jadi inget aja sama salah satu temen gue di kantor, dia juga sering banget dapat respon negatif gitu dari teman-teman. Mungkin karena dia pernah masuk penjara kali ya, jadi sampai sekarang agak susah gitu buat nyariin dia partner baru untuk liputan. Kebanyakan reporter di tempat gue pada nolak semua kalau gue suruh kolab bareng sama dia. Kasihan gue, padahal orangnya baik banget, sumpah.”

“Ya nggak bisa disalahin juga sih kalo orang-orang pada menghindar dari temen loe itu, namanya juga stigma masyrakat. Pasti pikirannya langsung macam-macam deh waktu dengar soal penjara.”

“Iya sih, gue cuma menyayangkan aja. Gara-gara cinta buta, bikin dia harus di bui. Ya walaupun nggak lama cuma seminggu kalo nggak salah, tapi tetap aja berakibat fatal sampai sekarang.” Linera kembali bercerita.

“Emang dia ngapain sampai di perjara seminggu?” Senggani penasaran.

Linera menengok kanan kiri lalu berbisik ke telinga Senggani. “Katanya dia hamilin anak orang, terus ceweknya dibawa kabur gara-gara nggak direstuin sama orang tua ceweknya itu.”

Senggani melongo tak percaya. “Serius loe?”

“Kata orang sih, nah orang tua cewek itu nggak terima anak gadisnya dibawa lari akhirnya laporin dia ke polisi. Tapi, karena nggak terbukti bahwa temen gue itu yang bawa kabur anaknya, dibebasin deh.” sambung Linera lagi.

“Terus sekarang mereka dinikahin?” Senggani antusias.

“Nikah apanya, justru ceweknya ngilang. Nggak Pulang-pulang. Nggak tahu pergi ke mana. Itu yang bikin gue prihatin sama dia, gara-gara gosip ini bikin dia susah dapat cewek sampe sekarang. Padahal dia itu ganteng lho, coba gue belum punya Rico gue juga mau sama dia.” Linera senyum-senyum sendiri.

“Ye, ngaco lo! Inget masa lalu dia, kayaknya bukan cowok baik-baik deh. Buktinya hamilin anak orang nggak ada rasa tanggung jawabnya sama sekali. Kasihan cewek itu kan.”

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang