Hati Dua Wanita

247 26 24
                                    

Sepanjang jalan menuju penginapan Mahesa hanya diam benar-benar diam hingga membuat Gani bingung untuk bertanya atau sekedar membuat cowok itu membuka mulut. Begitu sampai di penginapan, Mahesa langsung masuk dalam kamar dan sama sekali tidak menoleh ke arah Senggani barang sebentar.

Semalaman, Senggani hanya bisa menangis memikirkan kejadian itu. Andai saja dia tidak melihat Rumah Batik itu dan meminta izin wawancara dengan pemiliknya, mungkin Mahesa tidak akan bertemu dengan Lara sampai detik ini. Semua ini salahnya, Gani tak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri yang malah membuka lebih lebar jarak antara dia dan Mahesa. Dari cara Mahesa menatap Lara, Senggani tahu bahwa lelaki itu masih amat mencintai Lara sepenuh hati dan itu membuatnya sakit. Tapi Gani tetap bertekad untuk memperjuangkan Mahesa walaupun hambatan besar menghadang di depannya. Gani tidak ingin usahanya untuk sampai ke sini berakhir sia-sia.

Pagi-pagi benar, Senggani sudah besiap untuk melakukan liputan ke bukit love dan juga tracking mangrove sampai dia mendapat pesan dari Mahesa yang memberi tahukan bahwa dia tidak bisa ikut meliput dan menyuruh Gani pergi sendirian. Senggani mengetuk pintu kamar Mahesa tapi tak ada juga jawaban dari dalam, sepertinya Mahesa sudah pergi ke Rumah Batik itu lagi dan kembali menemui Lara. Dan benar saja, begitu Senggani menyusulnya si gondrong itu sudah ada di sana dan mengobrol dengan Lara.

“Lho, kamu kok ke sini? Kan aku udah suruh liputan sendiri,” pungkas Mahesa yang heran melihat Senggani di sana.

“Aku nggak tahu tempatnya,” jawab Senggani yang langsung menarik kursi dan duduk. “Lagian tadi Mas Rizal udah email aku nanyain progresnya, dan kita harus secepatnya beresin soalnya deadline-nya dimajuin.” Senggani terpaksa berbohong.

“Oh ya, kok aku nggak dapat emailnya ya? Terus kenapa tiba-tiba deadline dimajuin?” Mahesa mencoba membuka hpnya dan mengecek kotak emailnya.

“Mana aku tahu, pokoknya Mas Rizal bilang gitu. Udah yuk, sekarang aja. Makin cepat kelar makin bagus,” sergah Senggani setengah memaksa.

“Kamu ikut yuk, Ra,” usul Mahesa yang sama sekali tidak dinginkan Senggani.

Kedua perempuan itu otomatis saling pandang, ada perasaan tidak nyaman yang Lara rasakan saat itu. “Maaf, Sa, aku nggak bisa. Harus ngawasin pesanan batik, kasihan Ibu nggak ada yang bantu,” kilahnya.

“Kan ada Wildan yang bantuin Ibu, lagian kita juga sebenarnya butuh guide lokal yang bisa nganterin kita ke mana-mana,”

“Pakai guide yang kemarin aja, yang nganterin kita ke Menjangan. Itu juga bagus,” sela Gani yang masih nggak rela jika Lara ikut serta.

“Tapi kalau sama yang udah kenal akan lebih nyaman, lagian gratis kan ya, Ra, kamu nggak usah dibayar kan, ya?” Mahesa tetap ngotot mengajak Lara pergi.

“Udah pergi saja, udah lama kamu nggak jalan-jalan. Ajak Wildan sekalian buat nyetir, di sini biar Ibu sendiri aja. Kalian kan udah lama nggak ketemu,” sorong Bu Fatimah yang menyembul dari dalam.

Merasa ada yang mendukung, Mahesa yakin kali ini Lara tak akan menolak. Gadis itu akhirnya menyerah dan pamit berganti pakaian, Bu Fatimah menawarkan mobilnya untuk dipakai Mahesa berkeliling beserta Wildan sebagai driver-nya.

“Terimakasih ya, Bu, kalau bukan karena Ibu Lara nggak mungkin mau pergi,” ucap Mahesa pada Bu Fatimah.

“Iya Ibu paham kok, Nak. Kalian memang harus punya waktu berdua, bicara dari hati ke hati. Tapi Ibu pesan ya, kamu jangan terlalu menekan Dyah, biarkan dia bercerita dengan sendirinya.”

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang