Kenangan di Jepara

217 25 27
                                    

Setelah menyelesaikan pendakian Tambora, kaki Mahesa kembali melangkah menelusuri setiap jejak kehidupan ayahnya di masa lampau. Dan di sinilah dia berada sekarang, di Kota Jepara. Kota ukiran yang sudah sangat terkenal itu adalah tempat kelahiran ayahnya. Menurut cerita sang Mama, ayahnya dilahirkan dan dibesarkan di sana sampai akhirnya mendapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta.

Begitu tiba di kota ukiran itu, Mahesa langsung menuju desa tempat di mana ayahnya dimakamkan. Desa Panggung Kecamatan Kedung adalah sebuah desa nelayan yang begitu damai dan tenang. Satu kata yang tersirat di otaknya untuk menggambarkan suasana desa ini adalah tentram dan begitu nyaman karena keramahan para penduduknya yang berbaik hati mau mengantarkan Mahesa menuju alamat yang diberikan mamanya.

Nampak sebuah rumah sederhana yang dindingnya masih berupa batu bata tanpa cat, berpagar bambu usang setinggi tak kurang dari setengah meter dengan halaman gersang tanpa tanaman. Di kursi kayu tua yang terdapat di teras rumah duduk seorang Simbah Putri yang sedang mencampur kapur dan daun sirih untuknya menyirih. Kegiatan yang memang sudah sangat lazim dilakukan oleh orang sepuh yang dipercaya bisa memperkuat gigi di usia yang sudah senja. Usianya sekitar 70 tahunan, berbadan kecil dengan deretan gigi yang masih utuh kemerahan.

Itu Simbah Putri, bisik Mahesa dalam hatinya. Dia beranikan diri untuk masuk ke dalam halaman rumah itu dan mendekati simbah yang matanya sudah kurang awas itu.

"Assalamualaikum, Mbah," ucap Mahesa.

"Waalaikum salam, sinten nggih?" jawabnya sambil mengerutkan dahi karena merasa asing dengan Mahesa.

"Saya Mahesa dari Jakarta, Mbah," terangnya hati-hati.

"Siapa ya?" tiba-tiba seorang perempuan berusia 40 tahunan keluar dari dalam rumah.

"Assalamualaikum, saya Mahesa dari Jakarta." Mahesa berganti menyalami wanita itu yang masih terlihat heran menatapnya.

"Ada perlu apa ya, Mas?" tanya wanita itu.

Mahesa terdiam bingung harus menjawab apa, dia tidak mungkin tiba-tiba mengaku sebagai anak dari Dananjaya yang mungkin akan dibantah oleh keluarga itu.

"Saya ke sini mau tanya lokasi pemakaman umum di dekat sini sebelah mana ya?" tanyanya dengan canggung.

"Oh, makam. Dari sini Mas lurus saja, belok kiri ketemu pos ronda belok kanan. Jalan sedikit juga sudah sampai," jelas wanita itu lagi.

"Terimakasih, Mbak," pungkasnya sambil pamit.

"Iya, sama-sama. Kalau boleh tahu, Mas ini mau nyekar ke makam siapa ya?"

"Almarhum Ayah saya," ucapnya sambil berpamitan.

🍁🍁🍁

Mahesa kebingungan mencari posisi makam ayahnya, area pemakaman di desa itu memang tidak terlalu luas, tapi tetap saja membingungkan untuk Mahesa yang baru saja datang ke sana. Dia berkeliling membaca setiap nisan yang terdapat di sana. Sebagian besar makam yang terdapat di sana tak bernisan, hingga membuat Mahesa makin kebingungan sampai akhirnya ada yang menepuk pundaknya.

Begitu menoleh, ternyata wanita yang dia temui di rumah simbah putrinya itu sudah berada di belakangnya.

"Kalau yang Mas cari makamnya Mas Dananjaya, mari saya antar," tukasnya dengan sedikit menahan haru.

Mahesa yang hanya bisa terdiam, mengekor di belakang perempuan itu dan kembali ke rumah tempatnya tadi bertanya. Mahesa dipersilakan masuk ke dalam dan di antar sampai belakang rumah, di area yang cukup luas itu terlihat sebuah gundukan tanah yang sudah padat. Tanpa papan nisan hanya dipasangi dua patok bambu sebagai pembatasnya.

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang