Now It's Over

204 27 8
                                    

Senggani terduduk lesu di jok mobil sambil terus memandang ke arah luar jendela. Dewa yang sedang mengenakan seatbelt pun terus memperhatikan kakaknya yang sejak keluar dari ruang perawatan diam membisu. Dari pengamatannya di dalam tadi, sudah bisa disimpulkan bahwa apa yang dia curigai benar adanya, tentang perasaan yang kakaknya itu punya untuk Mahesa. Dewa juga tak kalah terkejutnya saat mengetahui bahwa ternyata dua orang laki-laki yang menjadi penyebab kegalauan kakaknya itu adalah kakak beradik. Rasa iba terhadap nasib kakaknya menyelimuti hati Dewa.

"Kak..." Dewa mencoba membuka pembicaraan.

"Jalan aja, Wa. Nggak usah banyak tanya," tukas Senggani dengan lesu.

"Tapi kan.." lagi-lagi ucapannya terpenggal karena suara Senggani mulai meninggi.

"Kamu itu ngerti nggak sih kalo aku bilang jalan ya jalan." Senggani menyalak. Tanpa sadar dia memarahi Dewa atas semua kekesalan dalam hatinya.

"Oke, oke." Dewa menyerah, dia memutar kunci dan memasukkan gigi. "Aku mau bilang kalo kamu belum pake seatbelt-nya. Takutnya ada razia," icap Dewa akhirnya.

Senggani yang terlanjur malu pada Dewa akhirnya menarik dengan paksa seatbelt itu dan mencoba memasangnya, tapi karena terburu-buru Senggani belum juga bisa memasang sabuk pengamannya itu ke pengait dengan benar hingga akhirnya Dewa turun tangan membantu.

Ceklek...

Senggani hanya menunduk sambil mengatur emosinya yang mulai membuncah, bahkan untuk memasang sabuk pengaman saja dia tidak bisa melakukannya dengan benar. Senggani merasa hari ini dia benar-benar menjadi orang bodoh. Air matanya berproduksi lagi untuk kesekian kalinya. Hari ini dia banyak menangis, dan semua itu disebabkan oleh satu orang lelaki bernama Mahesa.

Dewa mengembuskan napas berat, "Kalo mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan, aku nggak mau bawa kamu pulang dalam kondisi begini. Bisa-bisa nanti Mama panik lagi," tandas Dewa yang sudah mematikan kembali mesin mobilnya.

Barulah isakan itu terdengar, Senggani memuntahkan semua yang ada di hatinya dengan air mata. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dan menangis sejadi-jadinya. Dewa yang mendengar tangisan kakaknya yang begitu menyedihkan itu, melepas seatbelt-nya dan meraih tubuh kakaknya itu untuk memeluknya.

🍁🍁🍁

Mahesa yang baru sampai di studio dalam keadaan lelah hati, harus kembali menyiapkan sisa tenaganya untuk berhadapan dengan Jamal yang ternyata masih menunggunya di sana. Cowok klimis itu cukup keras kepala juga entah ingin menyelesaikan perkara atau malah memperpanjang lagi perkara.

“Masih di sini lo?” tanya Mahesa dengan sinis.

“Lo kan tahu, gue bukan tipe orang yang suka menunda masalah,” sembur Jamal tak kalah tajamnya.

“Oh, jadi masih mau diperpanjang? Oke,” tantang Mahesa yang sudah siap dengan jotosannya.

“Aduh, udah dong. Jangan berantem lagi kenapa sih? Pusing gue lihat kalian,” sergah Danang yang baru masuk ke dalam setelah memarkirkan motornya.

Hari ini benar-benar apes untuk Danang. Tubuhnya yang sudah lelah akibat perjalanan Malang-Jakarta dengan kereta api, belum bisa dia istirahatkan karena harus langsung menjadi pawang bagi kedua singa jantan yang sedang berkelahi itu. Setelah petengkaran lerai karena Mahesa memilih pergi, Danang yang baru merasakan tidur sebentar itu sudah dibangunkan Jamal yang mendapat amanat dari Tante Rahayu untuk segera membawa Mahesa ke rumah sakit. Si gondrong itu lagi-lagi sulit dihubungi mamanya karena tidak membawa ponsel yang masih dalam kondisi di charge. Danang yang masih lelah tadinya menolak, tapi karena Jamal masih gengsi untuk menemui Mahesa jadilah Danang mengalah dan menjemput paksa si gondrong itu agar menemui sang mama.

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang