Useless Romanticism

233 24 18
                                    

“Makasih ya, kamu udah mau nemenin. Sampe izin dari kantor segala,” ucap Mahesa saat keduanya berjalan pulang menuju area parkir rumah sakit.

“Nggak apa-apa kok, habis tadi Mas Danang kayak yang panik gitu. Aku jadi ikutan panik takutnya Mama kamu kenapa-napa. Makanya spontan izin pulang deh.” Senggani meringis garing. Sambil terus terusan menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Ketahuan banget kalo dia sedang grogi. Apalagi jika ingat tadi Mahesa balas memeluknya, sungguh membuat jantungnya tak karuan.

“Ya udah aku antar pulang ya.” Mahesa yang sudah berada di samping motornya langsung mengenakan helm dan merogoh kunci motor di saku celananya.

“Eem, kalo aku ikut ke studio, kamu keberatan nggak?” tanya Senggani dengan hati-hati.

“Buat apa?” tanya Mahesa heran sekaligus senang diam-diam karena dia bisa terus berdekatan dengan cewek itu.

“Mau lihat photo weddingnya Linera, soalnya dia nanyain terus. Udah nggak sabar pengen lihat hasilnya kayaknya. Jadi biar aku bisa laporan sama dia sejauh mana progresnya.” Senggani menggigit lidahnya, alasan konyol itu tiba-tiba terlontar dari mulutnya. Lagi-lagi dia meminta maaf pada Linera karena sudah dua kali dijadikan tameng untuk melindungi kebohongan Senggani.

“Dan kalo kamu nggak keberatan juga, aku mau dengar cerita soal Ayah kandung kamu,” sambung Senggani lagi dengan ekspresi wajah yang lebih serius.

Mahesa terdiam sejenak, lalu merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan selembar photo dan diserahkannya pada Senggani. “Ini ayahku,” ucapnya lesu. “dia meninggal saat aku masih dalam kandungan,” imbuhnya lagi.

Senggani mengamati photo itu, menelisik setiap inci garis wajah ayah Mahesa. Kini Gani bisa menemukan kemiripan keduanya. Senyuman hangat bak sunrise di pagi hari yang Mahesa miliki rupanya adalah warisan dari sang ayah, senyuman khas itu sudah mendarah daging dalam tubuh Mahesa hingga sekarang.

“Ayah kamu pendaki gunung juga?” tanya Gani setelah mengamati pemandangan di sekitar photo.

Mahesa tersenyum dan mengangguk. Lalu dia membalik lembar photo itu dan memperlihatkan tulisan yang terdapat di baliknya untuk Senggani baca.

“Dananjaya Wira Wardana, nama yang bagus,” ucap Gani. “kamu mirip banget sama Ayah kamu. Tapi masih gantengan Ayah kamu sih,” canda Gani menghibur Mahesa.

Mahesa hanya tersenyum simpul dan geleng-geleng kepala. Dia lalu menaiki motornya dan memutar kunci. “Iyalah, kalo nggak mana bisa punya anak seganteng aku,” tukasnya sombong sambil menstater motor dan bersiap pergi.

Gani tergelak mendengar kenarsisan yang sangat langka Mahesa tunjukan itu, sepertinya kesedihan cowok itu sudah berkurang sekarang.

🍁🍁🍁

Tiba di studio, Mahesa langsung memperlihatkan hasil photo-photo pernikahan Linera yang masih dalam tahap editing itu. Senggani yang sudah duduk di depan layar komputer nampak takjub dengan deretan photo hasil karya Danang dan Mahesa. Dia asyik memainkan mouse di tangannya untuk membantunya membuka setiap file photo yang ingin dia lihat dengan jelas. Matanya melongo saat melihat sebuah photo yang memperlihatkan gambar dirinya sedang dipotret secara candid. Nampak dalam photo itu Senggani sedang menggembungkan kedua pipinya di salah satu sudut ruangan pesta.

“Ini kamu yang photo ya?” tanya Senggani tiba-tiba membuat Mahesa yang sedang sibuk memilih album photo itu terkesiap. “Jahat ih, photo akunya lagi jelek semua. Nggak ada yang bisa aku minta donk, hapus aja yang ini, jelek.”

“Jangan donk, itu Danang yang photo bukan aku,” sanggah Mahesa.

“Nggak mungkin, Mas Danang mana mau buang-buang memori cuma buat photo beginian? Ngarang. Hapus aja ya, jelek tahu. Malu,” rengek Gani dengan wajah melas.

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang