Romansa di Karimunjawa

243 24 13
                                    

Dua hari yang lalu

Perkataan sang mama yang menyuruh Senggani untuk tidak mengabaikan kebahagiaannya sendiri demi membahagiakan orang lain masih terus terngiang di kepalanya. Belum terlambat, masih ada waktu untuk berpikir sebelum sampai ke pernikahan. Kalimat itu seakan menghantuinya siang dan malam. Haruskah dia mengikuti suara hatinya? Tapi dia juga tidak tega membuat Hendra kecewa, terakhir kali Hendra kecewa padanya, cowok itu mabuk berat hingga menabrakkan mobil mewahnya ke pohon. Jika sampai Gani memutuskan pertunangannya, entah apa yang akan Hendra perbuat lagi sebagai bentuk kekecewaan hatinya.

Puncaknya adalah, saat Hendra mengajaknya untuk mampir ke butik Bridal sepulang kerja. Hendra yang langsung membawanya tanpa persetujuan Gani pun mulai membuat Senggani jengah. Hendra bilang, dia ingin mempercepat pernikahan mereka karena Hendra sedang begitu bahagia. Saat merancang gaun pun, Hendra yang malah lebih banyak berkonsultasi dengan designernya dibanding Gani sendiri yang akan memakainya.

“Kayaknya kalo warnanya sedikit off white atau broken white gitu malah terlihat lebih klasik ya,” uja Hendra pada sang designer dengan semangat.

“Oh, bisa diatur. Mbaknya setuju nggak kalau broken white?” tanya sang designer pada Gani.

“Dia pasti setuju aja, mau pakai warna apa aja dia pasti cantik kok, iya kan sayang?” tanya Hendra yang membelai rambut Senggani dengan sayang.

Enough, Ndra. Please,” pintanya. Rasa jengah terhadap sikap Hendra yang mulai mendikte dan mengikatnya begitu erat membuat Senggani seolah tak bisa bernapas.

Setelah bertunangan dan menentukan tanggal pernikahan, Hendra seakan menghujaninya dengan cinta dan kasih sayang yang menurut Senggani terlalu berlebihan dan tak jarang Hendra juga memutuskan sesuatu tanpa bertanya dulu padanya seperti saat ini, dan itu membuat Senggani jengah.

“Maksud kamu?”

“Kita bicara di mobil aja.” Senggani berdiri dan pergi mendahului Hendra menuju parkir area. Saat ini tempat yang Senggani pikir untuk bisa bicara berdua dengan Hendra hanya mobil.

“Aku mau kita batalin pertunangan kita,” sergah Senggani tiba-tiba.

Hendra yakin dia pasti salah dengar. “Apa kamu bilang?”

Senggani memberanikan diri menatap wajah Hendra. “Kita batalin pertunangan kita, aku nggak bisa bohongin kamu terus-terusan. Aku juga nggak bisa bohongi diriku terus-terusan.” Suara Senggani mulai bergetar.

Hendra membantingkan tubuh ke sandaran jok mobil, tangannya mencengkeram stir dengan kuat. Kata-kata Senggani barusan serupa badai topan yang baru saja memporak-porandakan hatinya. Hendra seperti tak bisa berkata-kata, lidahnya kelu.

“Maafin aku, Ndra. Aku tahu aku salah, aku nggak bisa terus menerima kebaikan dan cinta kamu sementara aku sendiri belum bisa menerima kamu seutuhnya.” Senggani mencengkram tasnya dengan gemetar, “harusnya aku sudah lakukan ini dari dulu, tapi aku terlalu pengecut untuk bilang semua ini sama kamu.” Wajah Senggani tertunduk dalam.

“Kita baru seminggu tunangan,” kata Hendra putus asa.

Senggani melepas cincin pertunangan yang Hendra sematkan di jarinya seminggu yang lalu itu, dia meletakkan benda bulat berkilau itu di atas dashboard mobil. Dia sudah putuskan untuk mengakhiri semuanya detik ini juga, cinta dan kasih sayang yang Hendra berikan padanya terlalu besar hingga membuat Senggani merasa terbebani. Juga rasa rindunya yang kian hari kian dalam untuk Mahesa membuatnya amat tersiksa. Dia ingin bertemu dengan lelaki gondrong itu, itu yang selalu membisiki otaknya saat ini. Sama sekali tidak ada Hendra di hatinya.

“Sekali lagi aku minta maaf, Ndra.” Tandas Senggani.

“Tapi kamu udah janji, apa karena dia?” tanya Hendra mulai menyelidik. Hendra yakin tak perlu disebut namanya pun, Senggani sudah tahu siapa yang Hendra maksud.

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang