Di Penghujung Rasa

230 24 13
                                    

“Kami akhirnya menikah, dan tetap memberikan nama yang sudah dipilihkan Ayahmu. Mahesa Barata. Pemimpin hebat dan laki-laki terbaik. Papamu menyematkan nama keluarga besarnya untuk kamu pakai sebagai bekal di masa depan. Jadilah kamu seorang Mahesa Barata Arbi, putra pertama dari Sandjaya Arbi.” Ibu Rahayu yang masih terus bercerita walau dengan terbata-bata berusaha menyelesaikan kisah masa lalunya itu agar Mahesa mengerti semua kejadian yang terjadi.

Sedangkan Mahesa sejak tadi hanya menundukkan kepala dan menangis dalam diam. Seakan tak percaya jika semua kejadian masa lalu yang diceritakan ibunya itu adalah fakta yang sebenarnya. Dia masih ingin menyangkal bahwa dia terlahir dari hasil hubungan terlarang antara ibunya dan seorang laki-laki bernama Dananjaya.

“Papamu memberikan semua kebahagiaan untuk Mama dan juga kamu, Sa. Dia mencurahkan semua kasih sayangnya untuk kita agar kita selalu bahagia. Awalnya Mama tidak mencintai Papamu, kami bersama hanya sebatas demi melindungi kamu dan masa depanmu. Sampai akhirnya Hendra lahir 2 tahun kemudian. Rasa cinta Mama terhadap Papamu pelan-pelan tumbuh seiring pertumbuhan kalian berdua, tapi percayalah Sa, Ayahmu masih ada di hati Mama. Mas Wira tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun juga.” Ibu Rahayu menggenggam tangan Mahesa yang berada di tepi ranjang. Berusaha meyakinkan putra kandungnya itu bahwa rasa cintanya terhadap Dananjaya tak tergoyahkan sampai kapanpun juga.

Mahesa mengangkat kepalanya perlahan, menggosok-gosok wajahnya dengan kedua tangan berusaha menghalau air mata dan wajah sedihnya di hadapan sang mama. Dia mendeham untuk mengembalikan suaranya yang seakan serak karena air mata. Dan balik menggenggam tangan mamanya. Mahesa berusaha tersenyum walau terkesan dipaksakan.

“Maafkan Mama ya, Sa. Mama terlalu banyak salah sama kamu,” sesal sang mama.

Mahesa mengusap air mata mamanya dengan lembut. “Aku sudah maafin Mama kok, nggak ada yang salah dengan cinta, Ma. Yang terpenting, cinta Mama untuk Ayah masih belum berkurang kan,” ucap Mahesa kemudian.

Mamanya mengangkat kedua tangan, pertanda ingin memeluk anaknya itu. Mahesa bangkit dari duduknya dan membungkuk meraih tubuh lemah mamanya itu dan memeluknya erat. Isak tangis mamanya kembali terdengar. “Kamu memang persis seperti Ayahmu, penuh rasa maaf dan bijaksana,” bisik mamanya di tengah rangkulan mereka.

“Ma, bisa Mama cerita soal Ayah? Aku ingin tahu dan lebih mengenalnya,” ucap Mahesa yang sudah melonggarkan pelukannya pada sang mama. Dan kembali duduk di kursinya semula tanpa melepaskan genggaman tangan mamanya.

“Ayahmu itu seorang aktifis di kampus, dia cukup banyak disegani mahasiswa kala itu. Dia juga sering mengkritik kebijakan pemerintah yang dirasa kurang membela rakyat kecil, makanya dia sering disebut pemberontak. Tapi ayahmu tidak pernah gentar ataupun mundur. Dan itu yang membuat Mama kagum, sampai akhirnya jatuh cinta pada ayahmu. Eh Sa, bisa tolong dompet Mama,” pinta sang mama.

Mahesa mengeluarkan dompet mamanya yang terdapat dalam tas kulit di atas nakas pasien, dan dompet berwarna hitam itu diserahkan pada mamanya. Mamanya mengeluarkan selembar photo usang dari balik photo keluarga yang tersemat di dompet dan menyerahkannya pada Mahesa.

“Itu Ayahmu, Dananjaya Wira Wardana. Mama tidak pernah melupakannya, Nak. Mama selalu menatap photo itu jika sedang rindu dengan Ayahmu.”

Mahesa terpaku melihat sebuah wajah dalam photo itu, photo dengan warna yang pudar itu memperlihatkan wajah seorang pria yang tengah tersenyum sambil melipat kedua tangan di dada dan berdiri di depan sebuah tenda. Wajahnya ramah dengan senyum yang hangat, garis wajah yang tegas serta dagu yang runcing, berpotongan rambut ala Bon Jovi yang sangat tren di tahun 90 an dilengkapi jambang yang panjang dan kumis yang tipis. Di balik photo itu terdapat aksara bersambung Dananjaya Wira Wardana, Papandayan 1989.

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang