Jejak di Tambora

220 24 14
                                    

Mahesa Barata baru saja menjejakkan kakinya di Desa Pancasila, Kabupaten Dompu, NTB. Sebuah desa di kaki Gunung Tambora yang menjadi salah satu akses masuk menuju gunung yang terkenal dengan letusannya yang sangat dahsyat hingga mampu merubah iklim dunia pada tahun 1815 silam.

Dia berjalan menuju basecamp tempat di mana para pendaki biasa beristirahat sebelum atau sesudah mendaki gunung yang memiliki kaldera sebesar 7 kilometer persegi sebagai akibat dari letusan supervulcano yang membuatnya harus kehilangan sepertiga tinggi puncaknya dari 4.300 mdpl menjadi 2.850 mdpl. Memiliki kawah yang menganga begitu besar menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi Tambora selain sejarahnya yang pernah menyebabkan kematian massal sebanyak 71.000 lebih jiwa pada masa itu.

Jika ingat tentang sejarah gunung berapi itu tengkuk Mahesa langsung meremang. Dia membayangkan sulitnya bertahan hidup pada masa itu dan perjuangan warga menyelamatkan diri dari amukan Tambora. Hidup di negara ring of fire seperti di Indonesia ini memang sudah menjadi risiko tesendiri bagi rakyatnya. Tapi di balik ketakutan yang terus mengancam jika sewaktu-waktu jejeran gunung berapi itu memuntahkan isi perutnya, rasa syukur karena hidup di kelilingi gunung-gunung yang begitu indah pun tak bisa dipungkiri.

Keadilan yang Tuhan berikan untuk umatnya sangat terlihat. Pemandangan yang luar biasa indah, tanah yang subur makmur, serta alam yang kaya menjadi salah satu karunia yang Tuhan berikan untuk manusia khususnya rakyat Indonesia. Dan Mahesa sangat bersyukur bisa hidup di bumi pertiwi yang begitu indah dan memesona.

"Mas Mahesa dari Jakarta ya?" seorang pria menghampiri Mahesa yang sedang mentafakuri kebesaran Tuhan. "Saya Saiful, panggil saja Ipul. Saya pengelola basecamp ini, Mas. Selamat datang di Tambora," ucap pria itu ramah sambil menyalami Mahesa.

"Terimakasih, Mas," jawab Mahesa dengan senyum terkembang.

"Panggil Bang saja, Bang Ipul," ucapnya lagi.

🍁🍁🍁

Bang Ipul kemudian menggiring Mahesa masuk ke sebuah bangunan kayu berwarna cokelat bertuliskan PONDOK PETUALANG & TAMBORA TREKKING ORGANIZER yang terdapat pada sebuah papan putih. Di sana ada beberapa orang pendaki yang juga baru sampai dan akan melakukan pendakian besok pagi, setelah mengobrol banyak ternyata para pendaki yang berjumlah 5 orang itu berasal dari Surabaya dan mereka dengan berbaik hati mengajak Mahesa yang hanya mendaki sendiri untuk ikut bergabung dengan rombongan mereka. Inilah salah satu nikmatnya mendaki, selalu mendapatkan teman dan kenalan baru yang sudah terasa seperti keluarga.

Usai bersih-bersih dan makan, Mahesa mencoba menghubungi mamanya yang mungkin sedang mencemaskan dia saat ini karena sejak berangkat dari Jakarta hingga sampai di Tambora, Mahesa sama sekali belum menghubungi mamanya itu.

"Hallo, Ma," sapanya dengan posisi duduk di atas kasur.

"Sa, kamu kok baru nelepon sih? Mama khawatir tahu nggak, gimana udah sampai puncak?" pertanyaan mamanya itu membuat Mahesa tersenyum sendiri.

"Belum juga naik, Ma, masih di basecamp. Rencananya besok pagi baru mulai mendaki," Jawab Mahesa. "lagian Mama ada-ada aja sih, emang puncak dekat."

"Habis Mama masih takut aja kalau sampai apa yang terjadi sama Ayah kamu itu terulang, Mama masih trauma, Sa."

"Mama tenang aja, aku akan hati-hati. Mama doain aku aja semoga perjalanannya lancar dan nggak ada hambatan." Mahesa maklum dengan ketakutan mamanya itu.

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang