Senggani mematut diri di depan laptopnya sejak tadi, belum ada satu kata pun dia tulis untuk mengisi lembaran kolom terbarunya. Pikirannya kosong, dan sedang tidak mood untuk menulis. Terlebih mood booster yang selama ini menjadi penyemangatnya di kala mati ide tidak datang ke kantor. Hari ini Mahesa absen tanpa ada keterangan yang jelas. Sejak pagi juga handphone cowok itu sulit dihubungi. Itu semakin membuatnya cemas saja.
Mungkin cowok itu masih syok dan terguncang sehingga dia tidak datang ke kantor dan tidak menghubungi orang kantor perihal absennya dia hari ini. Pikiran Senggani jadi bermacam-macam jika memikirkan soal Mahesa yang dia tinggal sendiri di studio. Gani pun mencoba menghubungi Danang, berharap cowok itu sudah di Jakarta. Pucuk dicinta ulam pun tiba, saat Senggani sedang mencari kontak Danang, malah cowok itu sendiri yang menghubunginya.
“Hallo, Mas Danang?” sapa Gani cepat.
“Senggani, Mahesa ada di kantor? Kalo ada, bisa minta tolong suruh dia aktifkan hpnya aku mau bicara, penting.” Nada bicara Danang sangat terburu-buru, dan itu membuat Senggani jadi ikutan cemas. Apalagi ini menyangkut soal Mahesa.
“Mas Mahesa nggak masuk hari ini, Mas. Nggak ada kabar juga dari dia.”
“Haduh!” terdengar keluhan Danang di seberang sana. “Senggani, aku boleh minta tolong sama kamu nggak?” tanya Danang dengan cepat.
“Minta tolong apa, Mas?” jantung Senggani jadi berdegub kencang karenanya.
“Kalo kamu ada waktu, bisa tolong cari Mahesa di studio atau panti nggak? Kemungkinan dia ada di sana. Alamatnya...”
“Aku tahu tempatnya kok, Mas,” potong Senggani cepat. “tapi, kalo boleh tahu ada masalah apa ya, Mas?”
“Tante Rahayu masuk rumah sakit dan beliau nyariin Mahesa. Cuma handphonenya mati terus. Aku masih di Malang, makanya minta tolong sama kamu cariin dia. Bisa kan?” tanya Danang penuh harap.
“Bisa, Mas. Yaudah, sekarang juga aku berangkat ya,” Senggani memutus sambungan teleponnya dengan Danang dan langsung menuju ruang kerja Mas Rizal untuk meminta izin pulang cepat dengan alasan ada saudaranya yang masuk rumah sakit.
🍁🍁🍁
Sampai di depan studio, Senggani mengetuk-ngetuk pintu dengan keras tapi tak ada juga jawaban dari dalam. Apa mahesa tidak ada di dalam? Apa dia pergi? Atau jangan-jangan...
Berbagai pikiran negatif terus berseliweran di benaknya tentang Mahesa. Senggani kembali mengetuk pintu dengan keras sambil memanggil-manggil nama Mahesa, dia meraih grendel pintu dan mencoba membukanya namun pintu itu terkunci. Senggani yang mulai ketakutan menggedor pintu dengan tangan terkepal agar suara ketukannya lebih keras.
Aku mohon, Sa... jawab aku, aku mohon.... pinta Senggani dalam hati sambil terus menggedor pintu dengan panik takut jika sesuatu terjadi pada cowok yang kemarin malam dia tinggalkan dengan kondisi rapuh itu. Seharusnya dia tidak meninggalkan Mahesa begitu saja, seharusnya dia bisa menemani cowok itu lebih lama lagi.
Ceklek...
Suara kunci berputar dan pintu pun terbuka bersamaan dengan munculnya sosok tinggi itu dari dalam. Dengan wajah kusut dan rambut berantakan serta masih memakai pakaian yang kemarin. Senggani mengembuskan napas panjang saat melihat kondisi lelaki yang masih memegang grendel pintu itu baik-baik saja.
Sambil memegangi dadanya yang masih berdetak kencang, Senggani mendekat dan secara tiba-tiba memeluk Mahesa dengan erat hingga membuat cowok yang masih dalam kondisi mengantuk itu langsung terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Love to Him (Belum Revisi)
RomanceTop rank #1 pendaki (September 2019) #1 lingkungan (September 2019) #1 jalan-jalan (September 2019) #1 global warming (September 2019) #1 gondrong (September 2019) #1 backpacker (September 2019) Mencintai seseorang yang telah melabuhkan hatiny...