Lampion-Lampion Bercahaya

313 52 32
                                    

Sejak dari Jakarta hingga tiba di Magelang, chek in penginapan bahkan sampai ke Candi Bororbudur yang megah, mereka berdua belum juga berbicara satu sama lain. Paling, jika ada hal yang sangat penting saja barulah ada pembicaraan di antara mereka sisanya hanya saling diam dan menyibukkan diri masing-masing. Ini membuat suasana liputan kali ini begitu terasa canggung dan amat mengganggu kinerja professional mereka. Moment hari raya Waisak di Candi Agung Borobudur setiap tahunnya selalu mengundang antusias dari masyrakat luas. Baik yang beragama Budha sendiri maupun umat beragama lain, baik turis lokal maupun turis asing, baik masyarakat menengah ke bawah maupun kaum berduit semuanya berdatangan ke area Candi Budha yang dibangun oleh dinasti Syailendra ini untuk sama-sama menyaksikan perayaan suci umat Budha tersebut.

Sepanjang mengikuti prosesi mulai dari liputan Candi Mendut hingga berakhir di Candi Borobudur Senggani hanya bisa cemberut saja, dia Bete sekali hari ini. Sudah capek karena ikut berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur yang memakan waktu selama 2 jam lebih, ditambah cuaca panas, dan perutnya yang melilit sejak tadi, yang ada sekarang dia hanya bisa mengeluh dan misuh-musih nggak jelas.

Mahesa bukannya tidak memperhatikan tingkah Senggani saat itu, tapi dia masih sungkan untuk bertanya karena sejak tadi gadis itu memasang tampang mirip singa betina yang galak. Tapi saat melihat Senggani terus meringis kesakitan, Mahesa yang sedang memotret patung Budha di altar utama area candi zona 1 tak tega juga dan akhirnya dia menghampiri Gani yang sedang duduk di sebuah bangku dengan cemasnya.

"Kamu kenapa? Sakit?" tanyanya sambil memasukan kameranya ke dalam tas.

"Nggak apa-apa, udah sana." Serunya dengan ketus.

"Muka kamu pucat banget lho, yakin nggak apa-apa? Kalau sakit bilang aja, jangan gengsi."

"Aku nggak apa-apa." bentak Gani yang kesal dengan paksaan Mahesa.

"Tadi kamu sudah makan? Aku nggak yakin kalau kamu nggak apa-apa," Mahesa memberanikan diri untuk memeriksa suhu tubuh Senggani tapi langsung di tepis cepat oleh gadis itu.

"Apaan sih, nggak usah sok perhatian deh. Orang nggak apa-apa juga!" hardik Gani dengan keras.

"Kalau kamu masih marah sama aku, nggak apa-apa. Tapi jangan sampai membahayakan diri kamu sendiri, kalau memang sakit kamu bilang aja terus terang nggak usah gengsi. Nanti malah tambah parah sakitnya, aku cuma nggak mau kamu kenapa-napa. Kita sedang ada di luar kota, jauh dari rumah dan keluarga. Kalau bukan sama aku, kamu mau dibantu siapa lagi?"

"Cerewet banget sih!" Senggani nggak tahan dengan ocehan Mahesa, dan memilih untuk pergi meninggalkan Mahesa untuk melanjutkan pekerjaannya.

Tapi, oo... ada yang tiba-tiba mengalir dengan derasnya di bawah sana yang membuat Senggani langsung berhenti dengan takut. Benar kan dia kedatangan tamu bulanan, dan seperti bulan-bulan sebelumnya 'tamu' rutinnya itu selalu datang dengan jadwal yang tak pasti. Dia mempunyai siklus haid yang tak beraturan. Gani menoleh ke kanan dan kiri, kira-kira di sekitar sini ada yang menjual pembalut dan obat penahan nyeri nggak ya? Senggani sudah pesimis, dia juga tidak membawa perbekalannya itu karena tak menyangka tamu bulanan itu datang hari ini. Bagaimana ini?

Mahesa sedang menelepon seseorang ketika dia merasakan ada sesuatu yang menarik-narik ujung jaketnya. Mahesa hampir terlonjak kaget saat melihat Senggani ada di belakangnya dengan wajah tak karuan, dia semakin pucat dan kaku, dengan rambut terurai berantakan semakin membuatnya terlihat menyeramkan di siang yang cukup terik itu.

Senggani mencengkram lengan Mahesa dengan kuat. "Antar aku ke Apotek," serunya kesakitan.

Tanpa bertanya lagi, Mahesa langsung memutus sambungan teleponnya dan memapah Senggani yang sepertinya sudah tidak bisa berjalan dengan benar itu. Gadis itu terus memegangi perutnya sejak tadi, sepertinya dia sakit perut berlebihan sampai-sampai hampir pingsan seperti itu.

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang