Bertemu Keluarga Larasati

243 29 29
                                    

Senggani hanya diam saja, tidak berani melawan karena dia melihat kemarahan sedang menguasai diri Hendra. Mereka tidak saling bicara sampai di Basement. Begitu akan masuk ke dalam mobil ada seseorang yang menepuk bahu Hendra.

“Maaf, bisa minta tolong lihatin mobil saya? Kayaknya mogok deh,” pinta seorang Ibu pada Hendra.

“Tante Inggrid?” tanya Hendra pada wanita yang meminta tolong padanya tadi.

“Lho, Mahendra? Ya ampun, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kamu apa kabar? Makin ganteng aja deh,”

Mereka bersalaman dan cipika-cipiki ala orang borju. “Aku baik, Tante. Om Handoyo mana?” Hendra yang tampak antusias bertemu dengan wanita yang masih belum Senggani kenal itu terlihat celingukan.

“Itu lagi periksa mobil, nggak tahu kenapa mobilnya tiba-tiba mogok. Tolongin ya, Ndra. Siapa tahu kamu mengerti di mana problemnya.”

Mereka bertiga pun menuju mobil mogok yang dimaksud. Di sana ada seorang lelaki paruh baya berbadan tegap dan berperawakan besar sedang berkacak pinggang membelakangi mereka dengan cup mobil terbuka.

“Mereka siapa, Ndra?” bisik Senggani pada Hendra.

“Mereka orangtua Lara.” Bisik Hendra juga.

Senggani langsung diam, melihat dari dandanan dan cara berpakaian Tante Inggrid terlihat sudah gadis dari kalangan seperti apa Larasati ini. Kaum borjuis.

Setelah temu kangen dengan mantan calon menantu, Pak Handoyo mempersilakan Hendra untuk memeriksa kerusakan pada mesin mobilnya. Kedua pria beda usia itu terlihat akrab satu sama lain, sementara Senggani terlihat kikuk karena sedari tadi diperhatikan dengan detail oleh Ibu Inggrid. Tatapannya dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan begitu menyelidik membuat Senggani kurang nyaman. Dia benar-benar dikacangin oleh Hendra yang terlihat asyik sendiri membicarakan mengenai mesin mobil.

Ternyata, Hendra pun tidak mengerti dengan kerusakan yang terjadi di mobil Pak Handoyo. Dia pun menawarkan untuk memanggil orang bengkel langganannya agar menderek mobil Pak Handoyo ke bengkel dan menawarkan tumpangan bagi suami istri itu. Barang belanjaan yang dibawa Ibu Inggrid lumayan banyak, sehingga Senggani harus membantu menatanya di bagasi belakang.

Terjadi perbincangan akrab nan hangat di dalam mobil antara mereka bertiga. Sedangkan Senggani masih didiamkan Hendra mungkin masih kesal karena melihat gadisnya itu begitu berbinar matanya saat menyaksikan Mahesa di TV tadi. Jadilah di sini dia hanya sebagai pendengar yang baik.

“Jadi Om dan Tante sudah hampir 1 tahun pindah ke Jakarta?” tanya Hendra sambil memutar kemudi.

“Iya, hitung-hitung cari suasana barulah. Kebetulan Om juga baru buka cabang resto baru di Jakarta.” Jawab Om Handoyo bangga.

“Oh ya? Wah, hebat. Om memang bisnisman yang ulet.” Puji Hendra yang melihat Om Handoyo dari kaca depan mobil.

“Mama dan Papamu apa kabar, Ndra?” tanya Tante Inggrid kemudian.

“Alhamdulillah semuanya sehat, Tante. Tapi, Papa sedang di Eropa. Baru akhir bulan pulang ke Indonesia.”

“Syukurlah kalau semuanya sehat-sehat saja.” Jawab Tante Inggrid semangat.

Ada yang membuat alis Senggani berkerut, dia keheranan karena pembicaraan seputar kabar keluarga Hendra tidak menyelipkan nama Mahesa di dalamnya. Nama Mahesa sama sekali tidak disebut ataupun ditanyakan kabarnya. Seolah, cowok itu bukanlah anggota keluarga atau bahkan bukanlah siapa-siapa di dalam keluarga Hendra. Mereka bertiga seperti tidak mengenal siapa itu Mahesa. Apakah Om dan Tante Handoyo masih sama marahnya terhadap cowok yang sudah membuat putrinya hamil hingga menghilang entah ke mana itu? Diam-diam Senggani menghela napas berat.

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang