Kabut Hati

210 28 30
                                    

Senggani sedang berada di sebuah Butik di daerah Kalibata untuk menemani Linera yang akan melakukan fitting baju pengantinnya untuk yang terakhir kalinya. Kangen juga dia mendengar suara cempreng nan melengkingnya Linera di kantor. Jujur, selama dua hari ini dia hanya manyun saja di kantor karena dia kesepian. Mungkin saat jam bekerja dia bisa fokus pada pekerjaannya, tapi yang paling menyiksa itu waktu masuk jam makan siang. Terasa banget nggak ada yang bisa diajak cerita. Mahesa dan beberapa rekan reporter lainnya ternyata sedang mendapat tugas penting dari Mas Rizal untuk meliput sekaligus menjadi relawan di Kalimantan yang sedang terkena bencana kabut asap dan baru sekitar seminggu lagi akan pulang ke Jakarta.

“Gimana udah pas belum atau masih ada yang kurang?” ucap Linera yang melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Senggani.

Dia kini melihat Linera sudah berdiri di depannya dengan berbalutkan kebaya berwarna putih dan kain batik yang menutupi bagian bawah kakinya. “Bagus, bagus.” Ucapnya ngasal seolah dia sedang melihat Linera mencoba baju di kamar pas sebuah mall.

Linera memutar bola matanya ke atas. “Nggak nyambung banget sih nih anak! Udah makan belum sih?” Linera kesal dibuatnya.

Senggani menggeleng pelan. Dari kantor, dia langsung pergi ke rumah Linera dan langsung tiba di sini. Belum sempat memikirkan makan. Selain terburu-buru takut Linera jamuran menunggunya, dia juga sedang tidak mood.

“Kenapa nggak bilang? Tahu gitu, tadi kita makan dulu sebelum ke sini.” Ujar Linera sambil berputar-putar di depan sebuah cermin besar. “Tuh kan, bengong lagi! makan dulu sana, di seberang butik ada McD tuh.”

Senggani bergeming, dia masih diam di tempat. Duduk manis di atas sofa coklat dengan tatapan yang tak lepas dari cincin berliannya. Lalu, dia menengadahkan kepala melihat sosok Linera yang sedang tersenyum kagum pada dirinya sendiri yang tampak cantik mengenakan kebaya putih untuk akad nikah itu. Linera terlihat sangat bahagia menjelang hari bahagianya itu. Ya, dia pasti bahagia karena sebentar lagi dia akan menikahi laki-laki pujaan hatinya.

Senggani lalu membayangkan dirinya berada di posisi Linera saat ini, mengenakan baju kebaya cantik untuk pernikahannya bersama Hendra. Harusnya dia bahagia, menebarkan senyumannya di mana-mana. Tapi, yang ia rasakan malah sebaliknya. Sepertinya dia belum bisa berjalan lebih jauh bersama Hendra. Senggani masih memerlukan waktu untuk bisa membuat hatinya mencintai Hendra sepenuhnya tanpa ada sosok lain yang masih menghantui pikirannya sampai saat ini.

🍁🍁🍁

Selesai dengan urusan butik, kini Senggani menemani Linera untuk melakukan perawatan tubuh. Linera masih menerbitkan senyumnya sedangkan Senggani berusaha menyembunyikan kegundahannya itu di depan sahabatnya. Dia tidak mau merusak suasana hati Linera yang sedang dipenuhi bunga itu. Maka, setelah mereka selesai di massage, sekarang berada di ruang sauna yang membuat seluruh tubuh mereka berkeringat.

“Eh, hampir lupa. Nih, Say, ada titipan dari Mahesa.” Linera memberikan ikat rambut dan Id card pada pemiliknya.

Senggani tertegun sejenak menatap benda yang terbuat dari karet itu di tangannya. Sebegitunya kah Mahesa menepati janjinya untuk tidak berurusan dengannya selain masalah pekerjaan? Bahkan untuk mengembalikan ikat rambut miliknya saja, Mahesa harus menitipkannya pada Linera? Dada Senggani terasa sesak sekarang.

“Lin, keputusan gue ini salah ya?” Senggani benar-benar sudah tidak tahan memendam kegundahannya terlalu lama. Dia harus bicara pada seseorang untuk meringankan beban hatinya. Maka, setelah mereka selesai dilulur dan sekarang berada di ruang sauna, Senggani memuntahkan semuanya.

“Soal lamaran Hendra itu?” tanya Linera yang membuat Senggani mengangguk dengan ragu. Kemarin malam, Senggani nangis-nangis sambil meneleponnya dan menceritakan semua hal yang terjadi di Bali sampai telinga Linera panas rasanya. “Em… gimana ya, ini masalah serius, Gani. Loe merasa belum memberikan jawaban apapun terhadap Hendra tapi dia sudah memasangkan cincin di jari manis loe dan salahnya elo, loe nggak bilang apa-apa sama dia sampai detik ini kalau loe belum menyetujui lamaran ini.”

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang