Darkest Memories

322 55 28
                                    

Sebelum pulang ke Jakarta, Mahesa mengajak Senggani untuk berjalan-jalan sebentar. Dan kini mereka sedang berdiri di depan sebuah rumah yang cukup besar berlantai dua. Senggani sendiri tidak tahu untuk apa mereka berdiri di sini dan tidak kunjung masuk ke dalam jika memang Mahesa ada urusan di sini. Mereka sudah berdiri hampir 1 jam di sana, tapi Mahesa masih saja diam mematung dan tidak bergerak sama sekali. Senggani yang sudah merasakan pegal di kedua kakinya mulai menggerundel dalam hati, dia tidak berani menegur ataupun bertanya karena dia bisa menangkap ekspresi wajah Mahesa yang kelabu sejak datang ke tempat ini. Seperti ada aura kesedihan yang sedang menyelimuti hati cowok itu sekarang, apa mungkin dia punya kenangan buruk dengan rumah yang terlihat tak berpenghuni itu? Yang bisa Gani lakukan hanya memijat-mijat kakinya yang pegal sambil duduk selonjoran di bahu jalan.

Sedangkan Mahesa yang terus saja berdiri di depan pintu gerbang rumah itu, dia serasa kembali terlempar ke masa lalunya bersama Lara. Rumah ini menjadi saksi atas peristiwa menyakitkan beberapa tahun silam itu. Saat dirinya memberanikan diri untuk datang ke rumah itu dan mengakui bahwa janin yang saat itu ada dalam kandungan Lara adalah darah dagingnya.

PLAK!!!

Tamparan yang sangat keras dari Pak Handoyo mendarat dengan cepat di pipi Mahesa setelah Mahesa mengakui perbuatannya itu di hadapan keluarga Lara.

“Pa, jangan pukul dia!” terdengar suara Lara yang menangis menghambur memeluk Mahesa. “Dia nggak bersalah Pa… jangan pukul dia lagi!” rajuk Lara yang sudah sembab matanya karena menangis terus-terusan.

“Untuk apa kamu masih membelanya Lara? Laki-laki brengsek seperti dia nggak pantas untuk kamu bela! Kemari kamu, jauhi dia!” Pak Handoyo menarik paksa tangan Lara dan menjauhkanya dari Mahesa yang hanya bisa tertunduk lesu. Dia pasrah dengan apa yang akan dilakukan Pak Handoyo terhadapnya.

“Aku nggak mau!” gadis itu berontak dan memilih kembali bersama Mahesa. “Papa nggak berhak melakukan ini terhadap Mahesa, dia nggak bersalah Pa. Aku yang salah, semua salahku Pa… berhenti menyalahkan dia. Aku mohon…” rintih Lara dengan suara yang terbata-bata.

“Masih berani kamu membela dia?” Pak Handoyo berkacak pinggang sambil mondar-mandir dengan raut wajah yang memerah. Sementara Ibu Handoyo terduduk lesu di sofa sambil menangis sesenggukan memohon ampun kepada yang Kuasa. Tidak pernah terbayang di benaknya, putri semata wayang yang dia besarkan dengan penuh kasih sayang akan dengan tega dicelakai orang seperti ini. Walau orang itu akhirnya datang dan mengakui perbuatannya di hadapan mereka, itu tetap tidak akan bisa menutupi rasa kecewa yang mereka terima. Harga diri dan kehormatan mereka seolah sudah diinjak-injak oleh seorang pria yang sudah menorehkan noda di dalam rahim putrinya dan menaruh malu yang luar biasa bagi keluarga itu.

“Saya akan bertanggung jawab, Om. Saya akan menikahi Lara.” Ujar Mahesa yang akhirnya bersuara juga.

“Diam kamu! Saya tidak mau mendengar sepatah katapun yang keluar dari makhluk hina macam kamu!” hardik Pak Handoyo yang hampir ingin menampar Mahesa lagi.

“Pa! cukup… jangan limpahkan semua kesalahan hanya pada Mahesa. Di sini aku yang paling bersalah, Pa!” Lara tidak tahu lagi harus berbuat apa agar sang ayah tidak lagi memarahi atau bahkan memukul lelaki itu. Dia iba melihat Mahesa menanggung semua kesalahannya sendirian.

“Lara, kemari kamu!” lagi-lagi tangan Lara ditarik paksa oleh sang ayah, kali ini cengkramannya lebih kuat sehingga Lara tidak bisa berontak seperti tadi. Lara meronta dan memohon minta dilepaskan, namun tidak digubris ayahnya yang malah membawanya ke dalam kamar dan menguncinya. Berkali-kali Lara menggedor pintu dengan keras tapi itu semakin membuat ayahnya benci kepada laki-laki yang masih berdiri mematung di hadapannya itu.

“Pergi kamu dari sini, dan jangan pernah kembali lagi! Saya tidak sudi anak saya menikah dengan orang yang tidak tahu malu seperti kamu. Kamu tahu, Lara itu tunangan adikmu, seharusnya kamu bisa menjaga Lara seperti adikmu sendiri bukan malah menodainya. Kamu memang brengsek, pergi kamu!” Pak Handoyo mengusir Mahesa dengan mendorongnya kuat-kuat hingga cowok itu jatuh terjerembab di aspal jalan yang sedang dia injak.

A Love to Him (Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang