"inti dari sebuah hubungan adalah kepercayaan. Kepercayaan itu seperti kaca, saat rusak kamu bisa memperbaikinya, tapi kamu masih bisa melihat retaknya."
...
Pagi-pagi, Husna sudah sibuk dengan alat tempurnya di dapur. Husna sudah sepakat dengan Hasan, untuk membuka lembaran baru, untuk menjalankan peran sebagai suami dan istri dengan sebenar-benarnya. Meskipun Hasan masih enggan menyentuhnya kembali, bahkan mereka masih tidur di kamar yang terpisah.
Tidak masalah, Husna tidak mempermasalahkan itu. Yang terpenting adalah, Hasan mau menerimanya. Itulah yang paling penting bagi Husna. Cukup Hasan menghargai keberadaannya sebagai seorang istri, Sudah membuat Husna senang.
"Heum... Wangi sekali. Lagi masak apa?" Tanya Hasan tiba-tiba yang sudah berdiri di samping Husna.
"Kamukan lihat sendiri aku lagi masak semur ayam. Masih aja nanya." Hasan tertawa mendengar ucapan Husna. Lalu ia berjalan ke arah kulkas, mengambil sekotak yogurt. Lalu memakannya di atas kursi meja makan.
"Hasan .. ini masih pagi loh. Jangan makan yogurt dulu, nanti sakit perut." Ucap Husna sembari mengambil yogurt yang tengah Hasan pegang. Namun gagal, karna Hasan lebih dulu menjauhkannya dari Husna.
"Hasan sudah biasa makan ini setiap pagi. Jadi jangan khawatir oke?"
Husna hanya mampu menghela nafas. Baiklah, ia tidak akan memaksa. Husna kembali melanjutkan tugasnya menata makanan yang telah siap di atas meja makan. Husna dan Hasan duduk saling berhadapan.
"Eummm... Hasan, aku mau izin." Ucap Husna ragu-ragu di sela acara makannya.
"Habiskan dulu makanan kamu, setelah itu baru kita ngobrol." Akhirnya Husna kembali diam. Lalu menghabiskan makannya.
Setelah sama-sama habis. Husna dan Hasan duduk saling bertatapan.
"Izin untuk apa?" Tanya Hasan to the point.
"Husna mau berhenti kerja. Boleh nggak?"
"Kenapa berhenti?"
"Husna mau pokus sama tugas istri. Lagian gaji kamu aja cukupkan buat biayain kebutuhan kita berdua."
Hasan menyilangkan tangannya di atas dada, punggungnya menyender pada kursi. "Kamu yakin? Ga sayang sama gelar yang udah kamu capai? Hasan tidak keberatan kalau kamu mau tetep kerja."
"Husna sudah memikirkannya matang-matang. Lagi pula Husna kuliah bukan untuk kerja dan cari uang. Husna kuliah untuk menambah ilmu, agar Husna bisa menjadi ibu yang cerdas untuk anak-anak kita nanti."
Hasan terenyuh dengan pernyataan Husna. Hatimu begitu lembut, tapi tetap saja tidak ada celah untukmu memasuki hatiku. Batinnya.
"Yasudah, apapun keputusan kamu Hasan dukung."
Husna tersenyum senang.
"Ah iya. Hari ini ada kajian di masjid depan, aku izin kesana ya?"
"Boleh. Hati-hati di jalannya." Ucap Hasan sembari mengacak-acak rambut Husna.
Husna mengerucutkan bibirnya. "Jadi berantakan tau rambutnya." Hasan hanya menanggapinya dengan tertawa, lalu mengambil alih piring kotor untuk ia cuci.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKDIR CINTA [HmHs]
Romance"Perpisahan mengajarkanku bahwa mencintai tidak harus memiliki. Memilikimu adalah anugrah. Dan berpisah denganmu adalah awal ujian yang ternyata membawaku pada akhir yang membahagiakan." -Humairah. "Takdir cinta memang takan tertukar, meski awalnya...