Masalah Lapangan

353 44 0
                                    

"Yang sudah selesai segera dikumpul, lalu setelah itu kalian boleh keluar," ujar Ustadz Fajar sambil menulis sesuatu di buku catatannya.

Sore ini ada kelas pertama klub olimpiade pesantren. Seperti awal semester ganjil sebelumnya, Ustadz Fajar melakukan tes seleksi bagi mereka yang tertarik bergabung di klub olimpiade. Dari setiap kelas, hanya sepuluh orang yang bisa lolos. Kalau belum terpilih tahun ini, maka bisa mencoba lagi tahun depan.

Satu per satu peserta seleksi berjalan ke depan dan menyerahkan lembar tes pada Ustadz Fajar. Beliau hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikan lembar jawaban dengan saksama.

Mata elang Alfa memperhatikan teman-temannya yang satu per satu mulai meninggalkan ruangan. Ia sendiri sudah selesai mengerjakan. Sudah dicek tiga kali pula, memastikan kalau ia mengisi dengan benar. Hanya saja cowok itu sedang menimang untuk langsung mengumpulkan atau mengganti jawaban soal dengan jawaban yang salah.

Jujur, bukan kemauannya untuk bergabung di klub olimpiade ini. Ini kemauan Kyai Anshar. Beliau bilang, "Pokoknya kamu harus masuk klub itu. Kamu sudah menolak masuk kelas unggulan, kalau begitu kamu harus masuk klub olimpiade. Ibu kamu dulu anggota klub olimpiade terbaik selama mondok di sini. Masa kamu nggak?"

Ia mendengkus. Dia memang menolak masuk ke kelas tahfidz unggulan. Menurutnya kelas tahfidz biasa dan unggulan tidak ada bedanya. Sama-sama kelas, kan? Sama-sama disuruh menghafal dan muraja'ah juga.

Lalu masalah klub olimpiade, memangnya kalau ibunya masuk klub olimpiade, dia harus masuk? Minatnya bukan di sana. Ia sudah merasa cukup dengan bergabung dengan klub jurnalistik dan ekskul silat.

Masih terbayang di benaknya pesan Nashwa bahwa ia tidak boleh kelelahan. Itu bisa mempengaruhi kesehatan jantungnya.

"Alfa?" Cowok itu refleks menoleh ke Ustadz Fajar. Beliau memanggilnya. "Ada apa? Kamu tidak bisa mengerjakan soalnya?"

Alfa bergegas menjawab, "Nggak apa-apa, kok, Ustadz. Saya bisa ngerjian soalnya."

Ustadz Fajar menatap cowok itu sebentar, lantas mengangguk dan kembali fokus pada lembar-lembar jawaban di depannya. Mengabaikan Alfa yang menghela napas. Kembali menimang-nimang.

Kalau ia tidak lolos seleksi ini, pasti Kyai Anshar akan bertanya-tanya padanya. Kalau Kakek tahu, pasti pria paruh baya itu akan menceramahinya dan memojokkannya kembali. Ia tidak mau itu terjadi.

Tanpa berpikir lebih lama lagi, ia bangkit dan berjalan ke depan. Segera menyerahkan lembar jawaban itu pada Ustadz Fajar. Lantas berjalan keluar sambil mengembuskan napas.

- Alfa -

Alfa memaksakan diri untuk mengikuti pelajaran olahraga kali ini. Sebagai penderita lemah jantung, ia harus berolahraga rutin, walaupun fisiknya sudah pasti tidak sama kuat dengan teman-temannya.

Teman-temannya yang lain sudah sibuk memperebutkan sebuah bola hitam-putih yang Luqman ambil di gudang. Berteriak satu sama lain sambil sesekali bercanda. Alfa hanya memperhatikan mereka. Belum tertarik untuk ikut berbaur dengan teman-temannya.

"Fa! Diem-diem bae. Ayo, ikut main!" Haikal menarik tangan Alfa untuk ikut serta. Cowok itu tersenyum tipis, lalu dengan amat terpaksa mengikuti langkah-langkah besar Haikal.

"Aku jadi pemain cadangan aja, ya?" kata Alfa.

"Yah, jangan, dong! Kita kurang pemain, nih!" balas Haikal.

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang