Panggilan Kelima

1K 93 10
                                    

Satu lagi, baik anugerah ataupun musibah itu, selalu membawa perubahan pada hidup ini.

- Alfa -

Hidup selalu penuh dengan kejutan.

Kejutan itu bisa berupa apa saja. Bisa berupa anugerah ataupun musibah. Bukan, lebih tepatnya, sih, bukan musibah. Kita sebut saja ujian.

Satu lagi, baik anugerah ataupun musibah itu, selalu membawa perubahan pada hidup ini.

Seorang pria asyik mengelus kumisnya sembari membolak-balikkan sebuah buku di hadapannya. Beberapa kali sengaja melirik dua anak laki-laki di depannya sambil tersenyum. Membuat keduanya makin salah tingkah dan was-was.

Entah mimpi apa beliau semalam hingga dua anak ini bisa duduk lagi di depannya. Dengan masalah yang sama, hari yang sama, tanggal yang sama, bahkan jam yang sama!

"Baiklah, satu hal yang perlu kalian tahu, saya sudah lelah menghadapi kalian." Kedua anak itu menunduk mendengarnya. Tidak mau membalas tatapan pria tersebut. "Sudah lima kali kalian dipanggil ke sini. Dengan alasan yang sama. Dengan kasus yang serupa berulang kali. Ini yang buat saya heran. Memangnya kalian gak bosan terlibat masalah yang sama berulang kali?"

Tidak ada respons. Dua anak itu masih terdiam tanpa menatap pria tersebut sama sekali. Mata Ustadz Yasir menyorot lembut ke arah mereka. "Alfatih, Ario ..."

Satu kali panggilan, sontak dijawab dengan helaan napas dari keduanya. Merasa mendapat perhatian mereka, maka Ustadz Yasir kembali bersuara, "Bukan bermaksud buruk, saya hanya ingin mengingatkan kalau kalian sekarang sekolah di sini dengan beasiswa dari donator. Saya yakin tanpa beasiswa pun, orangtua kalian pasti mampu membayar uang sekolah sebesar apa pun. Yang saya ingatkan adalah jika para donatur mengetahui masalah kalian, saya nggak bisa menjamin kalau beasiswa kalian tidak ditarik. Sengaja saya sembunyikan, anggap pertemuan biasa, agar kalian tidak mengalami kejadian yang tidak diinginkan."

Yang satu hanya berdeham, menyuruh anak di sebelahnya untuk menanggapi. Sedangkan yang satu lagi mengalihkan pandangannya. Tidak peduli satu sama lain. Tidak ada yang tertarik menanggapi pertanyaan pria itu. Namun, beliau tidak heran sama sekali. Ustadz Yasir mengerti jika itu akan terjadi. Mengumpulkan mereka berdua dalam satu ruangan bukan ide yang bijak. Terbukti setelah dia memperhatikan tingkah mereka berdua selama ditempatkan dalam satu kelas yang sama selama beberapa tahun.

"Sekarang, sembari menunggu wali kalian datang, saya mau membahas sesuatu." Mimik wajah Ustadz Yasir mulai terlihat santai. Tidak terlihat mengintimidasi seperti tadi. "Alfa, dari laporan seluruh guru, Ustadz dengar nilai-nilai kamu mengalami penurunan. Jujur, sebagai siswa teladan di sekolah, Ustadz kecewa dengan kamu."

Mendengar itu, sudut bibir Rio refleks naik sedikit. Dia melirik Alfa dengan sinis. "Ustadz, nilai saya gak menurun jauh dari nilai-nilai sebelumnya."

"Ya, tapi tetap saja nilai kamu berada di bawah Rio dan Aliya. Berarti nilai kamu mengalami penurunan. Kamu ini bagaimana, sih? Lihat Rio, walaupun suka membuat masalah, prestasinya tidak perlu diragukan. Sementara kamu? Bukannya meningkat malah menurun."

Tangan Alfa terlihat mengepal kuat. Kalau saja yang di depannya ini bukan kepala sekolah, mungkin dia tak akan ragu untuk menghajarnya. Dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan nilainya. Tapi orang lain hanya bisa mengomentari apa yang mereka lihat. Hanya bisa memarahi dan kembali membandingkan dirinya. Padahal yang mereka lihat berbeda dari kenyataannya.

"Assalamu'alaikum, Ustadz ..." Mendengar salam itu, mereka bertiga segera menjawabnya dan menoleh ke belakang. Begitu melihat siapa yang datang, Alfa segera berdiri dan meninggalkan ruangan tanpa pamit. Begitu juga Rio.

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang