Rahasia

326 39 1
                                        

"Ngapain ... ngapain kamu di sini?"

Rio tidak menanggapi pertanyaan Alfa. Sempat menatap anak itu singkat, lantas mengalihkan pandangannya ke kuburan ibunya. Dia duduk perlahan di samping kuburan ibu-nya, berdoa sebentar, lantas mengusap pelan nisannya. 

Tak jauh darinya, ada Kiara dan Yumna yang sepertinya pergi ke sini dengan Rio. Perlahan mereka mendekat dan tersenyum canggung pada Alfa.

Entah kapan terakhir kali dia ke sini. Entah kapan terakhir kali dia mencurahkan semua isi hatinya di sini. Tentang Om Angga yang di tengah-tengah kesibukannya masih mengingatkan Rio untuk memperbaiki hubungannya dengan saudara-saudaranya. Tentang Alfa yang masih tidak menerima kehadiran Rio dalam hidupnya. Tentang kakeknya yang memaksa dia untuk menjauhi saudara-saudaranya. Tentang segala perasaan di balik wajah dinginnya. Tentang semua perasaan yang berhasil dia pendam sendirian.

Bukan dia yang ingin kalau hubungannya dengan Alfa rusak. Tapi itu adalah keinginan kakeknya yang belum bisa memaafkan Om Angga. Hal yang sama terjadi pula pada Tante Winda beberapa tahun yang lalu setelah dia memilih untuk tinggal di rumah kakak ketiganya.

Masalah sepele bagi orang lain, namun bagi seorang Datuk Ridwan, ini adalah masalah serius. Masalah harga diri.

"Yah, Bun, maaf Rio nggak pernah ke sini. Janji Rio masih dipegang sampai sekarang. Rio akan terus menjaga adik-adik. Rio nggak akan pernah lalai."

Tiba-tiba emosi Alfa memuncak. Kalimat apa itu? Rio tidak pernah menjaganya. Dia hanya peduli pada Kiara dan Yumna. Itu saja, tidak lebih! Alfa mendadak bangkit setelah hening sejenak.

"Menjaga, hah?!" Rio mengangkat kepalanya. Manik matanya menyorot tajam pada Alfa. "Kapan? Cuma Kiara dan Yumna yang kamu pedulikan!"

"Alfa!" seru Rio.

Remaja laki-laki itu berlari meninggalkan ketiga saudaranya yang refleks berdiri dan mengejarnya. Pikiran dan perasaan Alfa mendadak kacau. Air mata yang harusnya sudah tidak menetes, malah berebut untuk keluar. Di satu sisi dia marah besar pada Rio yang jelas-jelas berbohong di matanya, sementara di satu sisi yang lain dia masih sedih luar biiasa dengan kepergian empat orang yang sangat berarti dalam hidupnya.

Rio berusaha untuk menyejajari langkah Alfa. Mengabaikan napasnya yang terengah-engah dan dua adiknya yang agak jauh dari mereka. Beruntung daerah ini sepi, sehingga tidak banyak  yang melihat mereka. Anak itu segera menahan tangan Alfa. "Fa, aku tahu kamu marah! Tapi dengerin dulu semuanya!"

"Dengerin apa? Dengerin semua kebohongan kamu? Heh, aku bilang sama kamu. Kamu cuma sayang sama Kiara dan Yumna saja! Memangnya kapan kamu pernah sayang sama aku? Nggak pernah!" ketus Alfa dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Rio menggeleng kuat, sebagai isyarat kalau itu tidak benar.

"Itu semua nggak benar, Fa! Aku punya alasan kenapa melakukannya!"

"Fa, bisa, gak, sih, kamu dengerin Rio dulu?" Kiara ikut bersuara. 

"Dengerin dia? Cih, nggak akan pernah!" balas Alfa dengan suara keras.

Sementara Yumna, yang perasaannya lebih sensitif, berusaha menjauhkan Alfa dari Rio. Takut kalau ujung-ujungnya mereka akan bertengkar dan memancing keributan.

"Dulu aku percaya sama kamu, Rio! Aku percaya masih ada sisi kepedulian kamu smaa aku kayak kamu peduli sama mereka! Setidaknya buat membuktikan sama Ayah dan Bunda, membuktikan sama Kak Nashwa dan Kak Syifa, kalau kamu bisa menjadi saudara yang baik!" seru Alfa sambil menunjuk Kiara dan Yumna satu per satu. Wajahnya sudah memerah. Menahan marah dan kecewa sekaligus memang tidak mudah. "Tapi aku sadar, itu cuma khayalan aku aja. Ternyata kamu sama aja kayak Kakek, kan? Sama-sama nganggap aku pembawa sial!"

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang