Lembaran Luka

236 37 0
                                    

Alfa memejamkan matanya sejenak, lalu menarik napas panjang. Kertas ujian di depannya ia biarkan menganggur selama beberapa menit. Ia perlu mengumpulkan konsentrasi sebelum lanjut mengerjakan soal. Ia tidak mengerti, mendadak kepalanya terasa ingin pecah, padahal pada ujian sebelumnya ia merasa baik-baik saja.

Ini hari ujian akademik terakhir. Tepat setelah itu kegiatan selanjutnya para santri hanya remedial dan class meeting. Harusnya Alfa bisa menarik napas lega karena ujian akan segera berakhir. Toh, mata pelajaran yang diujiankan sudah tidak terlalu berat, tinggal bahasa Arab dan Inggris. Tapi kenapa malah hari ini i merasa tidak bisa berpikir jernih?

"Alfa?" Suara Ustadz Irfan memecahkan keheningan. Alfa segera membuka matanya dan menoleh pada laki-laki tersebut. "Kamu kenapa? Ada yang susah soalnya?"

Alfa langsung menggeleng. "Nggak apa-apa, Ustadz. Cuma agak pusing aja," ujarnya memberi alasan.

"Kalau pusing, kamu bisa izin ke klinik sekarang. Nanti saya kasih waktu tambahan buat ngerjain soalnya," kata Ustadz Irfan menawari.

Sejujurnya Alfa ingin sekali menerima tawaran itu. Tapi refleks ia menggeleng, sebagai tanda kalau dia menolak. "Nggak usah, Ustadz. Saya nggak apa-apa, kok."

Ustadz Irfan mengangguk, lalu segera beranjak dari sana. Kembali memperhatikan murid-muridnya yang kembali khusyuk mengerjakan soal.

"Dasar caper," desis Reksa yang duduk tepat di belakang Alfa.

Cowok itu menghela napas kasar. Tidak mau mencari gara-gara, ia memilih untuk mengabaikan Reksa dan kembali fokus pada soal ujiannya.

- Reksa -

Baru saja keluar dari ruang ujian, Ustadz Hasyim memberitahunya kalau Kyai Anshar ingin ia datang ke paviliun setelah salat Isya. Mendengarnya Alfa mengeluh dalam hati. Padahal ia ingin sekali bergabung dengan teman-temannya. Rencananya mereka ingin merayakan berakhirnya musim ujian dengan mengadakan acara makan kecil-kecilan.

Namun ia sendiri tidak berani membantah perintah dari kakeknya. Maka setelah salat Isya, ia langsung pamit kepada teman-temannya dan meminta maaf karena tidak bisa bergabung dengan mereka malam ini. Setelah menanggapi dengan baik protesan teman-temannya yang merasa keberatan dan mengatakan akan berusaha hadir lain kali, ia bergegas pergi ke paviliun Kyai Anshar.

Begitu menginjakkan kaki di beranda paviliun, langkahnya mendadak terhenti ketika mendengar suara Kyai Anshar.

"Iya, Ridwan. Dia sedang dalam perjalanan ke sini," ujar Kyai Anshar tenang. Nada suaranya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan nada lawan bicaranya.

"Itu yang kamu tahu. Bagaimana kalau dia tidak ke sana? Kabur seperti biasanya? Ck, harusnya kamu membiarkan aku datang, Anshar. Biar aku bisa langsung bicara dengannya," balas suara di ujung sana, terdengar kesal.

"Kamu tidak akan bicara dengannya, tapi kamu akan membentaknya dan menyakitinya."

"Itu caraku mendidiknya, Anshar."

"Mendidiknya? Mendidik apa, Ridwan? 'Mendidik'-nya untuk membenci keluarganya sendiri?"

Alfa menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa membiarkan Kyai Anshar dan Datuk Ridwan berdebat lebih lama. Dengan setengah keberanian, ia mengetuk pintu dan mengucap salam, "Assalamualaikum, Abah, Ummi!" kata Alfa dengan suara yang agak keras.

Tampaknya apa yang dilakukan Alfa berhasil membuat perdebatan itu terjeda. Buktinya Kyai Anshar menjawab salam dan buru-buru membuka pintu, tersenyum kaku menyambut cucunya, dan tentu saja bingung bagaimana ia bisa memulai percakapan.

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang