"Kesahatannya drop setelah pulang dari pemakaman."
"Hasyim sudah menduga kalau kejadian bertahun-tahun yang lalu akan terulang. Lihat sendiri, kan?"
"Maksud kamu?"
"Alfa tidak semudah kita yang bisa meng-ikhlas-kan kepergian mereka. Bahkan Hasyim yakin kalau Alfa belum bisa ikhlas dengan kepergian orangtuanya."
"Lalu harus bagaimana? Semua sudah berlalu, sekarang mereka tinggal nama dan kenangan. Tidak akan bisa dikembalikan lagi."
"Sudah, sudah. Sekarang kita urus Alfa dulu. Jadinya mau bagaimana? Dia akan terus dirawat di sini atau lebih baik dia pulang dulu?"
"Sebaiknya Alfa pulang dulu, Bah. Mungkin masih syok dengan kabar meninggalnya Nashwa dan Syifa. Biarkan dia istirahat di rumah saja."
"Tapi Ridwan tidak akan setuju ..."
"Bah, jangan urus ke sana dulu. Yang penting keadaan Alfa membaik. Orang tua itu, jangankan khawatir, menanyakan kabar Alfa saja tidak. Lagipula, di Jakarta ada Kiara dan Yumna yang bisa menjaganya, menghiburnya, membantunya melupakan semuanya."
"Urusan hafalan, beasiswa, atau masalah sekolah bisa diurus nanti-nanti."
Anak laki-laki yang terbaring di tempat tidur itu perlahan mengerjapkan matanya. Sedikit demi sedikit bisa menangkap sosok-sosok yang tengah berdiskusi di dekat dirinya. Bisa mendengar semua suara mereka. Namun belum sanggup untuk bergerak dan ikut bersuara.
"Ya, sudah, semua sepakat, ya. Alfa akan dirawat oleh Ayyi untuk sementara waktu. Nurul, kamu telepon dia," perintah Kyai Anshar mengakhiri diskusi panjang dan nyaris tidak berujung tadi.
Ustadzah Nurul mengangguk. Lantas mengambil handphone-nya dan keluar dari kamar.
Satu per satu orang yang tadinya memenuhi kamar ini keluar. Kembali ke kesibukan masing-masing. Tinggallah Alfa ditemani Ummi Wulan yang masih sangat khawatir padanya.
Alfa belum mau membuka mata. Pikirannya masih kalut, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Dalam diam dia mengiyakan kalimat Ustadz Hasyim tadi. Jujur, dirinya belum bisa ikhlas total dengan kepergian orangtuanya.
Kata ikhlas hanya terucap di mulut, namun tidak sungguh-sungguh ada di lubuk hati paling dalam. Di detik ini dia mulai merasa kalau jeda yang ia ciptakan sendiri mulai membawa masalah.
Ikhlas ternyata memang berat.
- Alfa -
"Ummi ..." Wanita itu menoleh ketika mendengar suara lirih cucunya. Refleks menutup Al-Qur'an yang sedang ia baca, mulutnya membisikkan lafaz tahmid. Cepat-cepat menghampiri Alfa yang masih mengerjap-ngerjapkan matanya."Alhamdulillah, Alfa. Ummi seneng banget kamu udah sadar, Nak," kata wanita itu sambil membelai lembut rambut cucunya. Ia mengusap-usap punggung tangan Alfa. "Kenapa, Alfa? Badan kamu sakit? Apa perlu kita ke rumah sakit sekarang?"
Alfa menggeleng lemah. Ia baik-baik saja, setidaknya lebih baik dari ttadi pagi. Perlahan ia menyapu pandangan ke seisi ruangan. Menerka-nerka di mana dia sekarang.
"Kamu di kamar Shara, Alfa. Shara yang mau kamu istirahat sebentar di sini." Seakan mengerti maksud tatapan bingung itu, Ummi Wulan menjelaskan padanya. Membuat Alfa manggut-manggut.
Alfa masih ingat kejadian tadi pagi. Sejak bangun tidur kepalanya terasa amat berat. Dia memaksakan diri untuk terus berjalan sampai akhirnya kakinya tak kuat lagi untuk menopang tubuhnya. Kepalanya terasa begitu pusing dan tubuhnya ambruk ke lantai. Yang terakhir ia dengar adalah seruan-seruan teman-temannya, setelah itu senyap. Pandangannya mengabur, lantas ia kehilangan kesadaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Redup {SELESAI}
Fiksi RemajaPercayalah, ini mungkin adalah kisah paling rumit yang pernah kalian temui. Namanya Alfa, remaja laki-laki yang bahkan baru menginjak bangku sekolah menengah. Ia adalah laki-laki kuat yang tumbuh dengan perlakuan kasar dari kakeknya. Ia adalah lak...