Tanda Tanya

245 29 0
                                    

"Cieee ... Ada yang  kangen  sama  Luqman, nih, yeeee!"

"Astaghfirullah, ya Rabb! Ya Rahman, ya rahim, kenapa, sih, ni makhluk selalu bikin kesal orang!" Faris yang baru memasuki kamar refleks melempar selimut berwarna coklat ke wajah Luqman. Kaget sekaligus kesal karena mendapati Luqman dibalik pintu. "Kamu, tuh, ngapain, sih?"

"Nggak ada kerjaan. Jadi Luqman ngagetin kalian saja," jawabnya asal. Lantas sambil mendekap selimut Faris, dia berjalan santai ke kasurnya. "Selimutnya buat aku, ya. Iya, ambil aja. Makasih, Faris!"

Sementara Luqman dan Faris malah kejar-kejaran dalam kamar ala film India, Haikal dan Raffi sibuk mengompori agar perdebatan mereka terasa makin seru. Lain halnya dengan Yusuf yang geleng-geleng kepala melihat tingkah upnormal  teman-temannya. Memilih untuk menyingkir ketimbang ketabrak Luqman atau Faris yang sedang kejar-kejaran.

Alfa tidak selera menanggapi aksi teman-temannya. Mencoba untuk mengabaikan seluruh suara yang mengganggu di sekitarnya. Tatapan  matanya menyorot kosong ke sebuah buku berwarna cokelat yang ia pegang. Beberapa kali membolak-balikkan halamannya. Membaca satu-dua baris, lantas bergerak ke halaman selanjutnya.

Sudah agak lama dia membiarkan buku ini mendekam di bawah tumpukan baju di lemarinya. Jangankan membaca, menyentuhnya barang sedetik saja enggan. Hingga entah apa yang mendorongnya untuk segera mencari buku ini begitu Tante Ayyi pulang dari pondok setelah mengantarnya pulang. Mulai membaca buku tersebut, meski tidak seluruhnya.

Ia tidak benar-benar ingin membaca, hanya ingin mencari jawaban dari semua yang ia pertanyakan selama ini.

Salah satunya, apa sebenarnya arti dari sebuah keluarga? Apakah seharusnya keluarga itu adalah 'tempat' yang hangat? Tempat kita bisa merasa nyaman dan tenang?

Kenyataannya, semua itu salah.

Setelah kejadian sore itu, Alfa mengurung diri di kamar. Menolak menemui siapa pun. Meski ia membiarkan kamarnya dalam keadaan tidak terkunci, tetap tidak ada yang masuk ke kamar. Bahkan Tante Ayyi yang awalnya memaksa ingin masuk pun tidak kunjung datang. Mungkin Kak Nashwa meminta agar tidak mengganggu Alfa terlebih dahulu.

Ia menangis hingga terlelap dalam keadaan meringkuk di atas lantai. Tidak peduli betapa dingin lantai keramik itu yang terasa menusuk-nusik kulitnya. Ia seakan tidak bisa peduli dengan apa pun selain rasa sakit di hatinya dan sesak yang menjalar di dadanya.

Tapi malam itu, sesuatu yang tidak ia sangka terjadi. Sesuatu yang membuat Alfa terus berpikir sampai hari ini, sampai detik ini.

Malam itu, saat Alfa terlelap karena kelelahan, pintu kamarnya terbuka lebar. Tak lama kemudian seorang pria sebaya Tante Ayyi masuk ke dalam. Ia melangkah perlahan agar tidak mengganggu remaja laki-laki itu dalam tidurnya.

Ia mengangkat tubuh ringkih itu dan perlahan menaruhnya di atas kasur. Lantas menutupinya dengan selimut tebal yang tadi ia temukan tergeletak di lantai. Ragu-ragu ia membelai rambut kecokelatan remaja laki-laki itu. Mengusap bahunya sekaan menyalurkan kekuatan agar ia tetap tegar.

"Dia membutuhkan kamu, Angga." Terdengar suara Tante Ayyi dari ambang pintu. Pria itu sontak menoleh. "Dia gak pernah dapat kasih sayang dari seorang ayah. Mungkin kamu meluangkan waktu, setidaknya sehari saja, pasti kekosongan yang ia rasakan karena kehilangan ayahnya bisa terisi."

"Dia juga membutuhkan sosok ibu," ujar Om Angga tegas. Ia kembali menatap remaja laki-laki itu. Ada sorot iba di matanya melihat wajah lelah Alfa. "Dia membutuhkan kamu untuk mengisi kekosongan yang ia rasakan karena kehilangan ibunya. Itu, kan, yang kamu coba untuk katakan?"

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang