Aliya

629 62 6
                                    

Ridwan dan Lilis pulang keesokan harinya. Membuat rumah tersebut kembali damai tanpa masalah.

Alfa menggenggam buku tulis dan headset untuk dibawa ke belakang. Dia tidak terbiasa belajar dalam jangka waktu yang lama seperti teman-temannya yang lain atau saudara-saudaranya. Bagi Alfa, satu jam belajar sudah lebih dari cukup.

Dia melewati kamar Ayyi yang pintunya terbuka. Samar-sama ia mendengar suara Ayyi. Berkali-kali menyebut namanya. Penasaran, ia letakkan barang-barangnya dan mendekat ke arah pintu.

"Aku rasa aku tidak kuat lagi, Winda." Suara Ayyi. Alfa berjalan pelan mendekati pintu kamar Tante Ayyi yang sedikit terbuka. Menguping pembicaraan Tante Ayyi dengan seseorang lewat telepon.

Alfa tahu dengan siapa Ayyi bicara. Tante Winda, adik ayahnya yang ia tahu mengasuh Rio. Terdengar suara dari handphone. "Setidaknya denganmu, Alfa tidak akan terlalu sering mendapat amarah Abah, Kak. Tindakan Kakak mengambil alih pengasuhan Alfa saat itu adalah tindakan yang benar. Apa Kakak tidak kasihan melihat dia terus mendapat perlakuan tidak layak dari Abah?"

Ayyi mendesah. "Aku tidak akan berbeda dari Abah jika marah padanya, Win. Aku memperlakukan dia tidak layak. Tidak seperti aku memperlakukan Kiara dan Yumna. Mungkin, masuk pesantren adalah jawaban yang benar. Dengan begitu dia akan terjauh dari masa lalunya, jauh dari semua perlakuan kasar itu, dan mungkin akan berhenti bertanya soal orangtuanya."

"Kenapa Kakak tidak bilang saja pada dia? Rio, Kiara, dan Yumna juga sudah tau, kan? Harusnya Alfa juga boleh tau soal itu."

"Kita nggak pernah tahu reaksinya, Win. Kakak belajar dari saat kita memberitahu Rio tentang itu. Rio saja perlu beberapa hari untuk menerima hal itu. Apalagi Alfa yang pemikirannya kadang masih persis seperti anak kecil? Percaya sama Kakak, dia belum kuat untuk tahu kebenarannya."

Alfa menghela napas. Tidak ada yang mau membicarakan soal Bunda dan Ayah di depannya. Mereka mencoba menutupinya. Merahasiakanya. Seolah hal itu tidaklah penting baginya. Tapi, apa mereka masih bisa berpikir? Sudah jelas kalau yang mereka rahasiakan itu perihal orangtuanya. Kenapa malah harus ia yang sibuk bertanya tentang mereka? Kenapa pula Rio, Kiara, dan Yumna diberitahu, namun ia tidak? Ah, sudahlah. Itu tidak penting lagi. Kakinya melangkah ke arah taman belakang. Alfa memutuskan untuk menghabiskan waktu luang di belakang sembari melanjutkan tulisannya.

Baru saja terduduk di kursi gantung rotan di belakang rumahnya, muncullah suara-suara 'iblis' di telinganya.

"Ya allah, di sekolah ketemu, di bimbel ketemu, di mana-mana ketemu, kamu itu manusia atau setan, sih? Di mana-mana ada?"

Alfa melepaskan headset-nya. Berdecak sembari mengusap wajahnya dengan kasar. Dia mengarahkan pandangannya pada sumber suara. "Bisa gak, sih, sehari aja gak usah ganggu orang lain? Kerjanya tiap hari buat rusuh aja. Nggak ada manfaatnya, Maemunah!"

"Dih, suka-suka akulah. Malah kamu yang sewot!" ketusnya. Suara menyebalkan itu mengusik ketenangan Alfa.

"Kalau gak ada yang penting, mending gak usah ngomong, deh. Nanti pita suaranya putus lagi. Mending masuk ke dalam, belajar, atau sekalian pindah rumah, biar tenang aku di sini."

Setelah sempat terdiam sejenak, dia melirik ke tempat lawan bicaranya berada, mendesis pelan karena sosok yang ia benci masih berada di sana sambil memasang wajah menyebalkan. Kalau memang dia tidak mau pergi, lebih baik Alfa saja yang pergi. Tangannya refleks tergerak untuk membereskan barang-barangnya. Dia akan pergi, jika gadis itu tidak menahannya.

"Maunya, sih, gitu. Sekalian gak usah satu sekolah lagi. Males liat muka kamu," ujar si sumber suara sinis. Alfa melirik ke arahnya, tersenyum sinis. "Inget, bukan berarti kamu cucu pemilik pesantren, bukan berarti kamu mudah mendapatkan beasiswanya."

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang