Rumah Sakit

536 35 0
                                    

"Pak, tolong adik saya, Pak. Tolong ..."

Orang-orang berusaha membantu sambil menatap anak laki-laki yang terus memohon pertolongan itu dengan miris. Tangannya menggenggam kuat tubuh seorang anak laki-laki lainnya yang sudah tidak sadarkan diri.

Kalau saja kecelakaan itu tidak pernah terjadi, apakah dia akan menjauh seperti ini?

Hari itu, tanpa ada yang pernah tahu, dia menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian yang tidak pernah diharapkan itu.

Kalau saja dia tidak pernah memaksanya untuk bermain di sana dan dia tidak mudah mengiyakan permintaannya, maka kecelakaan itu tidak akan pernah ada.

Kejadian itu terjadi karenanya. Genangan darah yang ada di situ setelah orang yang dia sayang tertabrak itu terjadi karenanya. Semua orang panik itu terjadi karenanya.

Bahkan tidak ada gunanya tangisan histerisnya kala itu. Semuanya berakhir penyesalan yang amat dalam. Berakhir pada benci.

Anak itu hanya bisa menangis tergugu ketika seorang laki-laki tua menghampirinya. Di lorong rumah sakit yang gelap dan sepi itu, dia ditampar dan dicaci maki. Membuat semua orang berusaha menghentikan kelakuan sang laki-laki yang amat marah itu.

"Kamu hanya membawa pengaruh buruk padanya! Kamu tidak bisa bertanggung jawab sama sekali!"

"Kamu persis ayah-mu! Persis om-mu! Hanya bisa membuat orang lain naik darah!"

"Jauhi dia! Bertingkah seolah-olah kamu tidak pernah punya hubungan apa pun dengannya! Kamu hanya parasit di sini!"

Sakit hati, terluka, dan akhirnya menyesal. Semua kalimat itu dia telan bulat-bulat. Meyakini kalau dirinya hanya membahayakan adiknya, orang yang paling dia sayangi.

Dirinya memang sehina itu. Tidak salah kalau kakeknya sebenci itu dengannya.

Tanpa sadar, ketika dirinya sedang dilanda penyesalan, seorang laki-laki mengamit tangannya dengan erat. Meninggalkan lorong itu dan membiarkan laki-laki tua tersebut meracau seperti orang kesurupan.

"Tolong janji sama saya ..." Anak itu menggigit bibirnya sendiri. Masih diselimuti ketakutan dan kesedihan.

"Kamu tidak akan meninggalkan saudara kamu apa pun kejadiaannya ..."

"Kamu tidak akan menjauhi saudara kamu apa pun alasannya ..."

Jalan mereka terhenti. Di saat yang bersamaan, tatapan dua orang itu bertemu. Yang satu dengan tatapan tegas, sementara yang satu lagi terlihat sendu.

"Kamu berarti buat mereka."

Namun pada akhirnya ia memilih untuk pergi. Ia tidak pernah menepati janji itu.

Ia bukan siapa-siapa.

-Shara-

"Banyak-banyakin istarahat dulu, ya. Kamu kayaknya lagi banyak pikiran sampai gak fokus gitu jalannya." Alfa tersenyum lemah sambil mengangguk lesu. Tangannya sejak tadi meraba dahinya yang terdapat bekas jahitan. "Untung saja ada orang yang bertindak cepat, kalau tidak kamu bisa pendarahan."

"Guru saya, ya, Dok?"

Dokter bernama Ardi itu menggeleng. "Bukan, yang pertama bertindak itu seorang anak laki-laki seusia kamu. Dia panik sekali dan terus-menerus minta sama semua orang agar memanggilkan ambulans."

Jawaban Dokter Ardi berhasil membuat Alfa terpaku sejenak. Dia menggali ingatannya, mengingat apa yang terjadi setelah kecelakaan itu.

Mungkinkah Rio?

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang