Buku Ayah

263 34 0
                                    

Ia memutuskan untuk duduk di beranda kamar. Menyandarkan diri di dinding dan menarik napas panjang. Ia berusaha untuk mengontrol emosinya. Berusaha agar tidak kelepasan di sini.

Ia melirik sebuah buku yang ia genggam. Sebelum meninggalkan kamar, ia sempat mengambil buku ini. Buku yang diberikan Ustadzah Nurul padanya tempo hari.

Ia meneliti sampulnya sebentar. Sesaat sebelum matanya terpaku pada sebuah ukiran nama di sana.

Hanafi Pramaditya dan Yasmin Sofyara

Keningnya berkerut. Ia tidak mungkin asing dengan kedua nama ini.

"Ayah ... Bunda ..." Lidah Alfa rasanya berat mengatakan itu. Dadanya mendadak sesak. Apa mungkin ... buku ini punya mereka berdua?

Lantas kenapa bisa ada pada Ustadzah Nurul? Ia pikir semua barang mereka ada di rumah Ayyi. Tersimpan rapi di dalam gudang. Beberapa ia bawa ke kamarnya untuk disimpan.

Ia membuka buku itu. Membaca halaman pertama yang membuatnya entah kenapa langsung meneguk ludah.

Untuk anak-anak yang Ayah dan Bunda sayangi:
- Nasywa
- Syifa
- Rio
- Alfa
- Kiara
- Yumna

Ia menengadahkan wajah. Menggigit bibir karena air matanya akan menetes. Ia tidak mau menangis sekarang. Harusnya ia senang karena mendapat salah satu barang 'berharga' peninggalan orangtuanya.

"Ayah, Bunda, sebenarnya apa, sih, yang terjadi sama kalian?" lirih Alfa sambil menatap nanar halaman-halaman selanjutnya. Tidak ada yang cukup menarik seperti dugaannya. Hanya beberapa kali ada cerita keseharian yang ditulis oleh ibunya, selebihnya adalah semacam puisi, prosa, atau quotes yang entah apa tujuannya ditulis di sana.

Ibunya, Yasmin, adalah seorang penulis hebat pada masanya. Semua orang mengenal ibunya sebagai penulis hebat. Buku-bukunya tidak perlu waktu lama untuk menempati rak best seller. Dia menulis novel, buku self improvement, kumpulan puisi, dan masih banyak lagi. Setidaknya selama dua bulan sekali ada dua buku baru yang terbit. Berbagai penerbitan berlomba untuk menjadi 'rumah' dair naskah-naskah barunya.

Dari sang Ibu-lah Alfa mendapat dorongan untuk belajar menulis berbagai cerita dan menjadi penulis seperti ibunya.

"Masih mikirin yang tadi, ya?"

Alfa bergegas menyembunyikan bukunya. Ia mengangkat kepalanya dan menemukan sosok Haikal yang baru keluar dari kamar. Temannya itu tersenyum singkat padanya.

"Oh, ya, Kal, tentang yang di dalam tadi ..." Alfa berdeham sejenak. Sengaja menggantungkan kalimatnya. "Mungkin kamu bener. Aku aja yang keras kepala dan gak mau menerima pendapat kamu."

Haikal tersenyum tipis. "Jangan dipikirin. Aku refleks bilang kayak gitu. Mungkin karena alhamdullilah aku masih punya orangtua. Aku gak terlalu mengerti perasaan kamu," ujarnya.

Sesaat kemudian dia melanjutkan, "Tapi walupun aku gak paham, bukan berarti aku tidak bisa membantu, kan?"

Alfa tersenyum, lantas menganggukkan kepalanya pelan.

Haikal berjalan mendekat. Ia menepuk pundak temannya sekilas. "Ingat, Fa. Kamu sekarang di sini, bukan di rumah. Kalau di rumah kamu nggak punya siapa-siapa, lain halnya dengan di sini. Kamu punya kita. Kalau kamu ada masalah, bilang sama kita. Biar kita bantu selesain."

Haikal tidak menunggu tanggapan Alfa selanjutnya. Ia bergegas kembali ke kamar setelah menguap sekilas tadi. Meninggalkan Alfa yang masih duduk di depan kamar.

Matanya sekali lagi terarah lada buku yang ukurannya sebesar telapak tangan ini. Ia masih memikirkan satu hal. Apa maksud orangtuanya meninggalkan buku ini?

Ayah, Bunda, apa ada yang kalian sembunyikan dariku?

- Alfa -

"Alfa, udah ambil contoh soal dari Ustadz Fajar belum? Besok, lho, olimpiadenya," ujar Yusuf sambil mengenakan sendalnya. Buru-buru melangkah agar tidak menjadi korban dorongan para santri yang juga baru keluar dari masjid.

"Udah, Suf," jawab Alfa kalem.

"Suf, Alfa, mah, tanpa belajar juga udah pasti menang atuh. Dia, kan, cucunya Albert Einstein," kata Faris sambil terkekeh.

Yusuf ikut tertawa pelan. "Oh, iya, iya. Udah pinter dari lahir."

"Dijamin seratus persen kalian bakal pulang bawa piala ke sini. Nggak diragukan lagi!" tambah Luqman melebih-lebihkan.

Anak laki-laki itu tersenyum mendengarnya. Setidaknya suasana hatinya yang sedikit buruk belakangan ini bisa terhibur sedikit. Perasaan kalut yang sempat menghantui dirinya selama ini. Mulai sejak hari itu, berkelanjutan sampai ujian semester yang berlangsung selama dua minggu, dan hingga hari ini.

"Udah, jangan pikirin masalah kamu lagi. Semua orang punya masalah. Tidak semua orang bisa menyelesaikan masalahnya sendirian. Allah memang tempat mengadu, tapi terkadang kita perlu orang lain untuk dijadikan tempat mengadu dan bersandar. Sebaliknya, terkadang kita juga akan menjadi pendengar dari mereka yang mengadukan masalah."

Alfa menoleh. Ia tersenyum pelan pada Yusuf. "Iya, Suf. Makasih."

"Mantap, Suf. Udah lama banget, nih, kamu nggak kasih quotes-quotes ala motivator terkenal," ucap Luqman sembari terkekeh.

Faris mencolek anak berambut ikal itu. "Kamu juga, Man. Udah lama nggak sombong tentang kegantengan kamu yang hakiki itu."

"Oh, ya, jelas, dong. Karena aku pernah dapat kalimat sakral dari Ustadz Junior." Kalimat Luqman yang sengaja digantung itu mengundang rasa penasaran teman-temannya. Sehingga kelima anak itu sengaja mendekatkan diri ke arah Luqman. Membuat anak itu tentunya menjadi risih. "Kalian apa-apaan, sih? Jangan mepet-mepet gini, ah! "

Refleks mereka kembali menjauhkan diri dari Luqman. "Ya, habisnya kamu ngegantungin kalimat. Hobi banget kayak gitu," protes Raffi geram. Membuat Luqman kembali terkekeh.

"Memangnya Ustadz Junior bilang apa?" tanya Alfa, sebelum akhirnya Haikal dan Raffi benar-benar kehilangan kesabaran.

"Ustadz Junior bilang sama aku, kalau orang ganteng, pasti nggak sombong. Sebaliknya, orang sombong, pasti nggak ganteng!" Anak itu berkata santai. Tidak menyadari kalau tangan Yusuf yang memegang buku laporan tahfidz sudah terangkat dan memukul pundak Luqman.

"Kirain kalimat sakral kayak apa gitu. Misalnya hadits, ayat Al-Qur'an, atau apalah. Kalau itu kamu, doang, yang telat tahunya!"

Sepertinya ini adalah yang pertama kali Yusuf geram dengan kelakukan absurd teman-temannya. Tentu saja tingkah Yusuf langsung mengundang tawa teman-temannya. Geli.

"Ngapain pada ketawa?" sinis Yusuf. Kesal bukan main kali ini. Sementara kelima temannya terus tertawa ringan.

- Lentera Redup -

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang