Pahit

337 40 0
                                        

"Tante ngapain di sini?" tanya cowok itu dingin. Ia menunjukkan ketidaksukaan pada kehadiran tantenya.

Ustadzah Nurul tersenyum pahit mendengar pertanyaan itu. Sedikit getir melihat tatapan tajam dari keponakannya. Menyiratkan ketidaksukaan yang jelas sekali. Remaja laki-laki itu tidak pernah berubah. Masih sama seperti terakhir kali ia bertemu dengannya.

Wanita berusia dua puluh dua tahun itu terbilang jarang menemui Alfa. Ia baru menyelesaikan pendidikannya di universitas Al-Azhar beberapa bulan yang lalu. Pulang sebagai lulusan terbaik. Lalu setelah itu memutuskan untuk mengajar di pondok pesantren milik keluarganya.

"Mau jenguk kamu. Ngapain lagi?" Akhirnya ia menjawab. Berusaha bersuara selembut mungkin agar cowok ini tidak semakin jengkel.

Alfa mendengkus. Wajahnya menunjukkan ekspresi meragukan. Menjenguk? Omong kosong. Kapan ada yang benar-benar memedulikannya? Pasti bukan hanya itu alasan Ustadzah Nurul datang kemari. Terlalu naif kalau Alfa langsung memercayainya.

"Kyai Anshar mau bilang sesuatu?" tanya Alfa memastikan.

"Kalau nggak ada santri lain, kamu bisa panggil beliau Abah, Alfa," kata Ustadzah Nurul.

"Aku nggak mau. Jawab aja pertanyaanku," tegas remaja itu.

Ustadzah Nurul mengembuskan napas. "Nggak ada, Alfa. Tante ke sini hanya ingin menjenguk kamu," ucap wanita tersebut.

"Ngapain? Bukannya Tante, Om, apalagi Abah sibuk sama urusan masing-masing?" Ustadzah Nurul mendadak kaku mendengar ucapan Alfa. Ia menghela napas. Lantas melangkah mendekati Alfa. Memperhatikan wajah remaja laki-laki di depannya ini.

Ada garis kesedihan di wajahnya. Kedua matanya memang menunjukkan sorot tajam, tapi di saat yang bersamaan juga menyorotkan kekosongan yang nyata. Kekosongan yang tidak pernah ia lihat di mata saudara-saudaranya, tapi selalu ia lihat di mata remaja pendiam ini.

Semua juga tahu, Alfa berbeda dari kelima saudaranya.

Ia berbeda dari Nashwa dan Syifa. Keduanya pernah merasakan kasih sayang orangtua mereka. Pernah dipeluk, dicium, dibelai. Mereka pernah merasakan apa yang tidak pernah Alfa rasakan.

Ia berbeda dari Kiara dan Yumna. Sejak kecil mereka tinggal bersama Ayyi. Layaknya seorang single parent, Ayyi berusaha untuk menjadi sosok ibu serta ayah bagi mereka berdua. Sesuatu yang tidak pernah Ayyi usahakan untuk Alfa.

Ia berbeda dari Rio. Yang tinggal bersama Angga, adik ayahnya. Sejak kecil Angga memang sering meninggalkan Rio sendiri di rumah. Namun ketika bebas dari pekerjaan, ia benar-benar meluangkan waktu hanya untuk Rio.

"Alfa ..." Ustadzah Nurul beringsut duduk di sebelahnya. "Kami selalu punya waktu untuk kamu."

"Cuma Tante yang bilang gitu," balas Alfa dengan nada getir. "Mana ada yang mau buang-buang waktunya untuk nemenin Alfa."

Buang-buang waktu.

Pilihan kata yang terasa menyayat. Entah mungkin karena Alfa sengaja atau memang itu yang bisa menggambarkan keadaannya. Mungkin cowok ini ingin menghabiskan waktunya sendiri dulu. Mungkin ia tidak mau diganggu siapa pun untuk saat ini. Apalagi anggota keluarganya.

"Ya, sudah. Tante pergi dulu, ya. Jaga kesehatan kamu." Ustadzah Nurul tersenyum hambar. Ia menatap keponakannya itu. Berharap kalau Alfa akan mengatakan sesuatu. Namun beberapa saat berlalu, Alfa tak kunjung membuka mulutnya. Membuat wanita itu hanya dapat menghela napas.

"Oh, ya. Tante mau kasih buku ini buat kamu," ujar wanita tersebut sambil memberikan sebuah buku catatan.

"Assalamualaikum, Alfa."

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang