Anak Pembawa Sial

771 75 5
                                    

Ia ragu kalau masih dianggap keluarga oleh mereka.

- Alfa -

Seperti yang Alfa duga, sesampainya di rumah, kakeknya sudah mengamuk karena masalah yang ia buat.

"Apa yang kubilang? Semakin lama, anak-anak ini bukan makin menurut, tapi makin melunjak. Melawan. Sama seperti Hanafi!" Ridwan mengomel sendiri seraya membawa gelas kopi ke dapur. Kiara dan Yumna membisu di samping Lilis, nenek Alfa. Sementara kedua kakaknya, Nashwa dan Syifa, sendiri tidak berani buka suara.

Ini yang paling Alfa benci. Disidang. Dipojokkan.

"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Hanafi, Abah," timpal Lilis.

"Bukannya Hanafi itu ayahnya? Kalau perilakunya seperti ini, sudah jelas turunan ayahnya!" Ridwan tak mau kalah bersuara.

"Kalau turunan Hanafi, berarti itu turunan Abah juga, kan? Abah, kan, ayahnya Hanafi." Lilis tersenyum. Membuat Alfa ikut tersenyum tipis melihat wajah salah tingkah kakeknya. Merasa bahagia karena pria itu terdiam sejenak.

Ridwan mati kutu. Tidak dapat mengelak. Akhirnya memutuskan untuk bersikap seolah kalimat itu tidak pernah ada.

"Apa gunanya cerdas tapi lebih sering dipanggil kepala sekolah daripada cetak prestasi? Bikin malu keluarga saja!" ujarnya lagi.

Ridwan mengeluarkan semua isi tas anak laki-laki itu. Meraih kertas-kertas try out dan ulangan harian yang tidak pernah sekalipun ia tunjukkan pada siapapun di rumah ini. Buat apa? Tidak ada gunanya. Tanggapan mereka hanya 'Oh' atau 'Wah'. Hanya tertarik saat nilai-nilainya jelek. Iya, tertarik untuk memarahi dan membandingkannya dengan orang lain.

"Lihat ini! Nilai-nilai ini tidak akan punya arti jika perilakumu seperti ini! Hanya sebatas angka-angka tak berguna! Kenapa kamu nggak bisa seperti anak-anak lain yang prestasi dan akhlaknya seimbang, hah?"

Alfa mendengus. Bodo amat.

"Dan anak itu, sudah berapa kali dia kuperingatkan agar tak sibuk berurusan dengan kalian? Aku sudah memperingat dia untuk tidak beurusan dengan kalian lagi. Dia harus ingat posisinya, kan? Benar-benar ke-"

"Bukan salah Rio, Kek ..." Alfa mencoba membela posisi Rio di sini. Meskipun dia muak dengan anak itu, tetap saja dia tidak terima jika 'saudaranya' disalahkan. "Yah, bagaimanapun Rio saudara kami."

"Kalau kamu tidak suka cara Kakek memperlakukan kembaran dan om kamu, pergi saja dari sini!" seru Ridwan. "Ah, sudahlah. Aku malas berdebat."

Ruangan itu masih sepi ketika Datuk Ridwan memutuskan untuk bungkam sejenak. Paling juga pria tua itu sedang merencanakan strategi untuk kembali memojokkan Alfa, seperti biasanya. "Oh, iya, kamu diterima di pesantren itu, kan. Jadi sesuai kesepakatan kita, jangan sampai kamu buat keluarga kita malu, tunjukkan kalau kamu berprestasi, selesaikan hafalan kamu, paham?"

Setengah terpaksa Alfa mengangguk. Dia sama sekali tidak menoleh pada pria itu. Tidak bisakah Datuk Ridwan mengambil topik yang lebih santai? Kalau sudah bicara seperti ini, pembicaraan ini akan berujung pada satu hal, pemaksaan.

"Dan jangan lupa, setelah itu ..."

Anak laki-laki itu berdecak pelan. Rasanya telinganya panas mendengar kalimat serupa selalu terlontar dari mulut kakek-nya. "Kalau masih mau tinggal di keluarga ini, harus ngurus usaha yang udah keluarga kita bangun seperti yang Kakek mau. Jangan ikuti jalan Ayah, Om Angga, apalagi Rio. Kakek udah berkali-kali bilang itu. Tapi Kakek yakin kalau itu yang Alfa mau? Bertahun-tahun Alfa selalu mendengarkan apa yang Kakek bilang, tapi Kakek nggak pernah mendengarkan apa yang Alfa bilang. Bertahun-tahun Alfa mengikuti maunya Kakek, tapi sekalipun Kakek nggak pernah mengikuti maunya Alfa. Jangankan mengikuti, bertanya apa yang Alfa mau juga tidak pernah, kan?"

Keluar sudah unek-unek yang sudah lama ia tahan.

"Apa yang terbaik buat Kakek, berarti yang terbaik buat kamu." Ridwan berkata kalem.

"Iya, Alfa tahu. Tapi kenapa Kakek dengerin aku sekali aja."

"Buat apa Kakek dengerin kamu? Memangnya kalau Kakek nyuruh kamu buat ngurus bisnis keluarga itu salah? Iya?" kata Ridwan memotong kalimat Alfa. "Kalau gitu, masuk pesantren, selesaikan hafalan tiga puluh juz kamu. Setelah itu silakan keluar dari keluarga ini kalau kamu memang ngotot melakukan apa yang Kakek gak suka! Persis kayak ayah kamu dan Rio!"

Refleks, anak itu berdiri dari tempat duduknya. "Alfa gak sama kayak mereka berdua!"

Plakkk!!!!

Lilis menutup mulutnya. Ayyi hanya bisa menahan napas sambil menatap keponakannya pilu.

"Apa gak cukup semua yang sudah Kakek berikan untuk kamu?!" Tubuh anak itu bergetar. Antara menahan emosi yang siap meluap atau linangan air mata yang siap tumpah.

Mata Ridwan berputar. Mencari benda yang pas di sekelilingnya untuk melampiaskan kemarahannya. Tangan keriputnya mengambil batang sapu yang tergeletak begitu saja di lantai. Sukses membuat Lilis panik bukan kepalang. "Abah, jangan ..."

"Dasar anak tak tahu diuntung!" Seketika tubuhnya tersentak ketika batang sapu itu menyentuh punggungnya. Perih.

"Sama saja seperti bapaknya!!" Tangan Alfa yang sedari tadi mencengkram tangan kursi ini mulai melemah.

"Kamu sama seperti Ario!"

"Cukup, Kek!" Alfa menepis batang sapu itu. Membuat Ridwan terkejut.

Lilis segera menahan gerakan Ridwan yang akan menampar anak itu lagi. Alfa langsung berlari ke kamar. Mengunci pintu. Bodo amat dengan reaksi Ridwan yang langsung menggedor-gedor pintu dengan keras. Setelah bertahun-tahun, Alfa kembali merasakan sakit itu. Sakit yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Hancur sudah benteng yang ia bangun bertahun-tahun. Air mata mengalir deras. Diselingi isakan kecil.

Tapi itu belum seberapa.

"Dasar anak sialan! Seharusnya kutelantarkan saja anak itu saat masih kecil! Lihat, sudah besar persis dengan ayahnya! Pembawa masalah! Pembangkang! Tidak berguna!"

Ia ragu kalau masih dianggap keluarga oleh mereka.

- Alfa -

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang