Saingan

313 46 4
                                    

"Gimana, Fa?"

Alfa mengangkat kepalanya. "Gimana apanya?"

"Kamu di sini gimana? Udah betah, kan? Bisa, kan, ngikutin pelajarannya? Nilai kamu masih bagus-bagus, kan? Ada peluang buat masuk lima besar, kan? Terus ..."

"Abah ..." Suara lirih Alfa menghentikan ocehan laki-laki berusia enam puluhan tahun itu sejenak. "I always tried my best."

Kyai Anshar menghela napas panjang. Memilih untuk berhenti mengoceh. Beliau mengambil cangkir teh di atas meja dan meminumnya. Ekor matanya mengarah kepada Alfa, yang sedang menatap ke arah lapangan. Memperhatikan santri-santri lain yang sedang bermain sepak bola.

"Kamu gak ikut main?" tanya Kyai Anshar.

"Udah tadi," jawabnya singkat.

"Kenapa gak dilanjutin mainnya?"

"Kan, kata Abah jangan main lama-lama. Yang penting belajar. Jangan sampai nilainya kurang dari sembilan puluh." Kyai Anshar terdiam mendengarnya. Tersenyum kecut melihat wajah datar Alfa. Beberapa saat kemudian anak laki-laki itu bangkit dari duduknya. "Alfa balik ke kamar dulu. Belajar lagi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," sahut Kyai Anshar pelan. Laki-laki tua itu mengikuti langkah Alfa. Berhenti di depan dan menatap punggung Alfa yang semakin menjauh.

- Yusuf -

Ustadz Fajar memijit-mijit kepalanya dengan mata yang masih menatap lurus ke hasil rekapan nilai evaluasi pekan lalu. Tidak habis pikir. "Gimana, sih, masa cuma Alfa dan Reksa yang nilainya di atas KKM?" tanya laki-laki berbadan tambun itu.

"Yah, mana saya tau, Ustadz. Saya, kan, ikan," celetuk Haikal sambil menirukan gerakan ikan. Sontak seisi kelas tertawa tertahan.

"Yah, siapa juga yang suruh kamu ngomong, Haikal. Kalau kamu nggak tahu mending diem aja," balas Ustadz Fajar dengan penuh kesabaran. Haikal tersenyum jahil. "Ya, udah. Kali ini saya maafkan. Kalau gitu, Reksa, Alfa, tolong bantu saya membagikan kertas ini."

Dua anak itu segera bangkit dari kursi dan melangkah menuju meja guru. Mengambil beberapa kertas, kemudian mulai membagikannya. Ada yang mengeluh melihat tinta merah terukir di kelasnya, ada yang bersyukur walau nilainya di bawah KKM, ada pula yang langsung memasukkan kertas tersebut ke laci meja atau tas, tanpa melihatnya sama sekali.

Kertas terakhir yang berada di tangan Alfa adalah kertas milik Reksa. Dia menghela napas sejenak, sebelum akhirnya melangkah dan meletakkan kertas tersebut di meja pemiliknya. Bersamaan dengan selembar kertas bertuliskan nama Alfa mendarat di meja itu. Membuat Alfa bisa membandingkan nilai dari dua kertas tersebut.

Alfa mendengkus. Reksa lebih unggul lima angka.

Melihat wajah kusut Alfa, Reksa yang berdiri di depannya tersenyum miring. Lantas menepuk-nepuk pundak Alfa. "Kurang belajar itu, mah." Alfa menyentak tangan anak itu, membuat Reksa terkekeh pelan dan langsung berjalan menuju kursinya.

Sementara Alfa yang sudah muak langsung memutuskan untuk kembali ke kursinya. Menatap Ustadz Fajar yang sudah mulai menerangkan ulang materi pekan lalu.

Jujur, dia tidak bisa fokus selama pelajaran. Selalu terbayang nilainya tadi, juga nilai-nilai sebelumnya yang selalu lebih rendah dari Reksa. Dia tidak pernah seserius ini dalam menanggapi nilai. Tidak pernah peduli pula dengan yang namanya saingan. Baru kali ini. Itu pun setelah dia diperingatkan oleh kakeknya.

- Faris -

Lapangan terlihat lebih ramai sore ini. Menurut jadwal yang ada, sore ini ada pemilihan anggota tim sepak bola pesantren. Sorak-sorai para santri yang tampak menyesaki lapangan seakan menjadi pasokan energi untuk mereka yang tengah bertanding.

"Jangan terlalu serius, Fa. Cuma ulangan harian. Semester ini baru berjalan dua bulan. Kamu masih punya waktu buat memperbaiki nilai," ucap Haikal.

"Gak usah stress gara-gara nilai, Fa. Kamu nggak bakal meninggal cuma karena nilai kamu itu lebih rendah daripada Reksa. Kita aja yang jelas-jelas remedial gak se-stress kamu," timpal Raffi.

Alfa hanya terdiam. Berusaha untuk fokus sambil mengarahkan kameranya ke lapangan. Dia dapat tugas dari klub jurnalistik untuk mendokumentasikan kegiatan tim sepak bola. Sejak tadi kepalanya berdenyut, dadanya juga terasa sedikit sakit. Semua itu membuat konsentrasinya sedikit buyar. Alhasil hasil jepretannya lagi-lagi tak sempurna.

"Ck, apa-apaan, sih, nih, kamera. Rusak apa, ya?" rutuk Alfa kesal.

"Heh, Malih. Yang rusak, tuh, bukan kameranya. Konsentrasi kamu yang rusak!" Faris malah ngegas saking gregetnya. "Kenapa, sih, Fa? Hidup kamu, tuh, kelewat serius tau gak? Cuma gara-gara nilai kamu sampe stress gitu."

Alfa mengacak-acak rambutnya. Memutuskan untuk ikut duduk bersama mereka di pinggir lapangan. Beberapa kali memejamkan matanya, mencoba mengumpulkan konsentrasi.

Kepalanya lagi-lagi terasa berdenyut. Pusing. Ia akui selama dua bulan di sini ia terlalu banyak beraktivitas. Untungnya ia tidak pernah pingsan karena kelelahan.

"Sini, ah, aku aja yang ngambil foto mereka. Daripada kamu dimarahin sama Bang Dimas." Yusuf langsung mengambil kamera tersebut tanpa menunggu lama. Ia juga anggota klub jurnalistik. Namun, untuk saat ini ia belum kebagian tugas lain.

"Yang bagus fotonya, Suf. Nanti Akhi Dimas yang terhormat marah," canda Raffi yang langsung memancing gelak tawa teman-temannya. Yusuf terkekeh dan mengangkat jempolnya. Lantas matanya beralih ke lapangan dan mengangkat kamera. Hendak memotret.

Faris melirik Alfa yang wajahnya masih sangat kusut. "Udah mukanya gak usah kusut gitu, Brother. Kamu, tuh, kecapekan. Makanya jangan maksain diri ikut ekskul ini-itu," omel Faris panjang.

"Duh, Ris. Kamu, tuh, gak ngerti kenapa aku harus kayak gini. Makanya kamu ngomong gitu," balas Alfa frustrasi.

"Ya, makanya jelasin biar kita paham." Luqman kali ini ikut menimpali.

Alfa mendengkus. "Ah, nanti ajalah."

Mendengar itu Raffi sontak menepuk jidat. "Tuh, kan. Kamu aja setiap kali disuruh jelasin ngomong kayak gitu terus. Gimana kita mau ngerti?" protes Raffi.

Memang selalu begitu. Alfa tidak mau siapa pun tahu soal masalah keluarganya. Biarlah mereka mengenal Alfa sebatas santri berprestasi dan cucu Kyai Anshar. Mereka tidak perlu mengenal Alfa yang tengah bersembunyi di balik topengnya selama ini.

Ia juga yakin, tidak ada seorangpun keluarganya yang ingin masalah ini sampai bocor ke orang lain. Bisa dibayangkan, seberapa malunya mereka kalau orang lain sampai tahu masalah ini? Harga diri keluarga dipertaruhkan.

Apa yang ia hadapi terlalu rumit untuk dimengerti. Terlalu rumit untuk dimengerti orang lain. Bahkan untuk dirinya sendiri.

Sekarang ia tidak mau memikirkan hal itu lagi. Ia lebih memilih untuk memikirkan bagaiman ia bisa bertahan di 'tempat pelariannya' ini.

- Ketika Tuhan Tidak Tidur -

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang