Kalau Ada Masalah, Bilang Sama Kita

290 37 0
                                    

"Jangan mempermalukan keluarga kita, Alfa. Apa susahnya mengikuti pesan itu." Tanpa banyak basa-basi, Kyai Anshar segera menyerang cucunya dengan kalimat itu. Membuat Ustadz Hasyim mendesah pelan. Sudah tahu bagaimana respon Alfa nanti.

"Abah ngajak aku ke sini hanya buat ngomongin itu?" Alfa bertanya kalem. "Udah? Itu aja, kan?"

"Kapan kamu mau mengerti, Alfa?"

"Apa yang Alfa nggak ngerti?"

"Semua harapan Abah dan Kakek pada kamu. Semua permintaan-permintaan itu."

"Harusnya Alfa yang tanya, kapan Abah dan Kakek mau ngerti harapan Alfa?"

Pertanyaan itu cukup menohok bagi Kyai Anshar.

"Nggak berhasil dengan Ayah, Om Angga, dan Rio, sekarang Alfa yang jadi sasaran?"

"Jangan mengungkit mereka, Alfa," desis Ustadz Hasyim tajam. Tidak suka mendengar saudara-saudara dan keponakannya ikut diseret dalam permasalahan ini. Meski masalahnya memang berawal dari mereka.

Alfa menghela napas. "Sejak kecil Alfa selalu mengikuti apa kata Abah dan Kakek. Karena Alfa pikir dengan ngikutin semua kemauan kalian, Alfa bakal dianggap bagian dari 'keluarga'. Alfa pikir dengan ngikutin semua kemauan kalian, nanti Alfa bakal dapat kesempatan untuk ngikutin kemauan Alfa sendiri. Tapi sampai sekarang, apa yang Alfa pikirkan belum terwujud. Memangnya kenapa, Bah? Kenapa nggak ada satu pun yang ngerti maunya Alfa itu apa?"

Dada pria paruh baya itu terasa amat sesak mendengarnya. Apa yang dia harapkan dari remaja berumur dua belas tahun dengan emosi yang bisa dibilang labil ini? Setiap kali ia mengungkit hal ini, ia selalu mendengar rentetan kalimat yang sama. Alfa selalu mengatakan hal yang sama. Selalu menanyakan hal yang sama.

Tentang kenapa ia dibeda-bedakan dari kelima saudaranya. Tentang kenapa ia selalu diperlakukan buruk. Tentang kenapa ia tidak diperbolehkan untuk mengikuti ambisi dan impian-impiannya.

"Abah, kayaknya kita obrolin di rumah saja, ya, nanti malam. Alfa masih harus menyelesaikan hukumannya. Kasihan teman-temannya menunggu di sana," ujar Ustadz Hasyim, mencoba menengahi pembicaraan tegang ini.

Beliau juga paham perasaan Alfa sekarang. Dia persis seperti ayahnya. Keras kepala dan tegas, tapi bisa menyimpan sejuta luka di hati sendiri. Ya, sendiri. Sama saja dengan menyakiti dirinya sendiri setiap waktu.

Kyai Anshar mendengus kasar. "Bilang saja kalau kamu tidak ingin dia sakit hati berlama-lama berbicara tentang ini. Semakin besar dia, maka dia harus siap dengan semua itu. Dia harus siap untuk mengikuti harapan-harapan itu. Bukan kata hatinya yang menyesatkan!"

"Sejak kapan ngikutin kemauan sendiri menyesatkan?" hardik anak laki-laki itu pelan. "Apa Abah mengatakan hal yang sama dengan Ayah?"

"Nggak. Lagipula itu bukan urusan kamu, Alfa."

"Setiap yang berkaitan dengan Ayah dan Ibu itu urusanku!" tegas Alfa.

"Cukup. Kalau kamu ingin berdebat, datang ke rumah nanti malam. Jangan mengotori nama baik dan bersih keluarga kita seperti tadi!"

Kyai Anshar berlalu dari hadapan Alfa. Meninggalkan anak laki-laki itu dengan pamannya yang tidak habis pikir dengan kelakuan Kyai Anshar.

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang