Good ... Bye?

399 33 3
                                    

Alfa POV

Sejak aku tahu arti kata bunuh diri, aku selalu mencari cara agar bisa secepatnya meninggalkan dunia ini.

Kadang ada masanya aku benar-benar putus asa. Ada masanya aku benar-benar kehilangan harapan. Ada masnaya aku benar-benar ingin pergi. Namun semua keinginan itu mendadak sirna, ketika aku sadar kalau masih ada orang yang membutuhkanku di dunia.

Lentera itu mulai meredup.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Namun samar-samar, aku bisa mendengar kebisingan khas rumah sakit di sekitarku. Alat-alat medis yang berdesing dan mengeluarkan bunyi-bunyi, suara tirai yang bergesekan, dentingan besi-besi, derap kaki para dokter dan perawat, bercampur jadi satu.

Berkali-kali aku mendengar jeritan Yumna dan Kiara yang menyebut-nyebut namaku. Juga isakan tertahan dan rutukan-rutukan pelan Rio. Aku bisa merasakannya, mereka amat terpukul.

Koridor panjang di depan UGD yang memiliki sebaris kursi itu penuh dengan gelisah dan isakan. Om Angga tampak mondar-mandir samb mengetuk-ngetuk pelan keningnya. Tante Ayyi hanya terduduk di kursi. Matanya menyorot kosong ke arah lantai. Namun aku tahu, beliau juga sama tidak tenangnya dengan yang lain.

Tak lama kemudian aku bisa mendengar langkah-langkah kaki lain yang memenuhi koridor di depan ruangan. Disusul suara serak basah yang amat aku kenal.

"Di mana dia?!"

Seisi koridor mengalihkan tatapan kepadanya.

"Di mana cucuku?!"

Aku bahkan tertegun melihatnya. Tidak percaya bahwa dia ada di sini.

"Kau!"

Plak!

Tamparan telak itu mengenai pipi Om Angga. Membuat pria tiga puluhan tahun itu refleks terjatuh. Tidak siap menerima sambutan tidak menyenangkan itu.

"Abah!" Nenek buru-buru menarik Kakek menjauh dari Om Angga. Mencegah pria paruh baya itu menimbulkan keributan. "Jangan macam-macam, Abah, ini rumah sakit!"

"Kenapa cucuku bisa sampai masuk rumah sakit seperti ini?! Apa yang terjadi padanya?!" Suara serak Kakek menggema di koridor tersebut. Semua mata tertuju padanya, namun tidak da yang berani bersuara. Membuat pria paruh baya itu berang. Dia mengalihkan pandangan pada Rio. "Rio, apa yang terjadi pada adik kamu, hah? Jangan-jangan kamu yang mencelakakan Alfa lagi!"

"Kakek jangan asal tuduh!" Yumna menyela, memasang wajah kesal.

"Diam, Yumna!"

"Bukan Rio yang membuat Alfa seperti ini!" Suara serak Kiara ikut terdengar. Ia menyeka ujung matanya.

Sementara aku tertegun menyaksikan semua itu. Aku seakan kehilangan kata-kata ketika melihat pria paruh baya tersebut berteriak. Menunjuk-nunjuk Rio dan Om Angga secara bergantian. Jika aku tidak salah, beliau pasti menangis saat perjalanan ke sini. Karena aku bisa meneliti ada sembab di sana.

Kakek ... Kakek peduli padaku? Sungguh?

Di balik semua perilaku kasar dan bentakan itu, Kakek masih menyebutku cucu? Kakek datang demi mendengar aku berada di UGD? Sungguh?

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang