Seorang laki-laki berusia 22 tahun melangkah cepat keluar dari dalam bandara. Sambil berbicara dengan seseorang yang berusaha menghubunginya sejak tadi.
"Nggak sampai satu jam lagi, lho, Fa, acaranya. Kamu yang ngisi acaranya, masa kamu mau telat? Nggak enak, dong, sama yang udah hadir," omel suara di seberang sana. Alfa menghela napas berat. Melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya sambil menggigit jari.
"Pengennya, sih, nggak telat. Tapi aku usahain, deh, dalam sepuluh menit aku sampai di sana, ya? Jangan ngambek!"
"Iya. Kita tungguin, nih. Tetap hati-hati. Jangan buru-buru kayak dikejar setan. Assalamualaikum!"
Alfa menggelengkan kepalanya ketika orang itu memutuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa sempat dia menjawab salam. Dia kembali memasukkan handphone-nya ke saku. Berjalan cepat menuju mobil yang terparkir di depannya. Menunggu dia naik.
"Pak, langsung ke lokasi, ya," ujar Alfa, lalu dia masuk ke mobil. "Tapi jangan buru-buru, Pak. Santai aja."
Laki-laki itu mengangguk. Berusha menyembunyikan cengirannya karena Alfa berkata demikian. Dia tahu betul kalau Alfa tidak suka mengendarai kendaraan dengan kecepatan yang melampaui batas meski sedang dalam kondisi buru-buru. Trauma dengan kejadian yang menimpa orangtuanya.
Sekitar tujuh tahun yang lalu, ia berhasil dinyatakan sebagai salah satu lulusan terbaik Pondok Pesantren Ahlul Qur'an. Ia berhasil menyelesaikan hafalan tiga puluh juz-nya tepat di tahun kedua dan mengambil sanad tiga bulan setelahnya.
Sejak selesai mengambil sanad, Alfa kembali fokus pada pendidikannya. Meski tidak mendapat kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas full di luar negeri, karena kuota beasiswa yang seharusnya menjadi miliknya ia serahkan untuk orang lain, Alfa mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar selama enam bulan di Kanada. Barulah ketika kuliah dia tancap gas mengirim aplikasi beasiswa dan barhak kuliah ke Turki.
Tamat dari sana, ia kembali ke Indonesia. Dengan gelar sarjana jurusan hubungan internasional, ia berhasil lulus ujian masuk Sekdilu atau Sekolah Dinas Luar Negeri demi mencapai cita-citanya, juga cita-cita Ayahnya, menjadi seorang Diplomat.
"Pak, turunin saya di sini aja, ya," ujar Alfa. Laki-laki itu mengangguk, lantas berhenti di tempat yang sudah Alfa tunjuk.
Laki-laki tersebut bergegas masuk ke dalam gedung. Melangkahkan kakinya dengan cepat, takut benar kalau acaranya sudah dimulai. Terbiasa tepat waktu sejak kecil membuatnya sangat tidak nyaman kalau sampai terlambat di acara ini. Pada rencana awal dia harusnya mendarat di Jakarta malam tadi. Tapi karena ada keterlambatan keberangkatan, dia telat sampai.
Gedung ini terlihat ramai. Setahu Alfa, gedung empat lantai ini akan menjadi lokasi peluncuran novel ke sekiannya, juga lokasi sebuah pameran seni. Itu yang dia dengar dari Kiara, selaku penyelenggara acara.
Sibuk dengan kuliahnya dan mengejar impiannya untuk menjadi diplomat, tidak membuat Alfa berhenti menulis. Selama beberapa tahun belakang dia sudah menulis puluhan buku. Laki-laki itu tidak berubah sama sekali. Tetap berprestasi, kalem, dan tentu saja terlihat menawan dengan mata hazel-nya.
Yang membuat orang lain bertambah kagum pada Alfa, selain karena dia sholeh dan merupakan hafidz Qur'an, adalah skill bahasanya yang makin luar biasa. Dia sudah menguasai dua puluh bahasa. Kecerdasannya juga tidak bisa diragukan. Jangan tanya bagaimana dia kalau sudah berbicara di depan umum, bisa-bisa semua ornag yang melihatnya terpukau karena kehebatan dan kelugasan dia berbicara.
Ia melangkah memasuki ruangan yang akan menjadi lokasi acara itu. Begitu masuk, Kiara langsung menghampirinya. "Eh, siap-siap, ya. Bentar lagi acaranya dimulai."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Redup {SELESAI}
Novela JuvenilPercayalah, ini mungkin adalah kisah paling rumit yang pernah kalian temui. Namanya Alfa, remaja laki-laki yang bahkan baru menginjak bangku sekolah menengah. Ia adalah laki-laki kuat yang tumbuh dengan perlakuan kasar dari kakeknya. Ia adalah lak...