Extra Chapter: Aliya

326 21 1
                                    

"Al, jangan keasyikan ngelukis aja, dong."

"Kamu udah kelas delapan, Al. Bentar lagi kelas sembilan, ujian kelulusan, terus tiba-tiba SMA. Kamu udah harus mulai serius."

"Ini semua juga demi kebaikan kamu, Aliya."

Gadis yang disebutnya namanya itu hanya bisa menghela napas dan memutar bola mata. Tangannya dilipat di atas dada, pandangan matanya lurus ke depan. Kosong, tidak ada yang bisa mengartikan tatapan tersebut.

Sedetik kemudian ia berdiri dari tempat duduknya ketika Papa dan Mama sudah meninggalkan ruang tamu. Kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Seakan lupa bahwa beberapa detik yang lalu mereka sibuk mengeluh karena nilai-nilai Aliya yang tak sesuai ekspektasi tinggi mereka.

Aliya cerdas, mereka tahu itu. Potensinya besar, kesempatannya lebih banyak dari anak-anak lain. Bukan salah orang tuanya jika menaruh banyak ekspektasi terhadap putri satu-satunya mereka. Sisi ambisius Aliya seharusnya juga memberi pengaruh besar dalam setiap langkahnya. Target-target tinggi yang ia buat sendiri secara tidak langsung menjadi dorongan baginya untuk tidak berhenti bekerja. Bukankah luar biasa ketika kita bisa mencapai target dan memuaskan ekspektasi orang lain di saat yang bersamaan? Itu yang dipikirkan Aliya.

Namun belakangan sejak masuk SMP, pemikirannya itu seakan berangsur hilang. Aliya perlahan berhenti terlalu fokus pada nilai-nilai dan ranking sekolah. Ia lebih memilih untuk menenggelamkan diri dalam kegiatan kesukaannya, yaitu melukis.

Entah apa yang terjadi selama gadis itu di pesantren, namun yang jelas perubahan Aliya membuat orang tuanya agak resah.

Gadis itu melangkah gontai memasuki kamarnya. Setelah mengunci pintu, ia segera melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Jendela kamar tertutup rapat, pun dengan gorden yang kembali ia tutup setelah dibuka Mama tadi pagi. Tidak adanya cahaya yang masuk ke dalam membuat kamarnya terlihat remang.

Aliya berniat untuk tidur ketika telinganya menangkap suara kerikil mengenai jendela kamarnya.

Sontak ia bangun dari posisi telungkup. Buru-buru menyambar jilbab instan warna hitam di stand hanger yang terletak tepat di sebelah kiri tempat tidurnya. Lantas bergegas menyibak gorden. Ia tersenyum tipis saat melihat sosok yang berdiri di belakang jendela rumah seberang.

Ponselnya berdering, membuat Aliya segera meraih benda pipih tersebut dan mengangkat teleponnya.

"Gak sabar banget kayaknya kamu teleponan sama aku." Orang yang berdiri di rumah seberang tertawa. Membuat Aliya refleks merengut.

"Ngapain coba lempar jendela orang pake batu kalau ujung-ujungnya nelepon juga? Aku pikir bakal pake pesan lewat kertas kayak waktu itu," balas gadis itu.

"Yah, aku baru inget, sih, kertasku habis. Makanya langsung nelepon aja." Cowok di seberang sana lagi-lagi tertawa. Kali ini Aliya ikut tertawa dengannya. "Oh, ya, gimana orang tua kamu?"

Pertanyaan cowok tersebut berhasil membuat Aliya tersenyum getir. Tanpa memberi jawaban pun, cowok itu sepertinya mengerti apa yang ia maksud.

"Jangan sedih, Al. Mereka pasti bisa ngerti nanti," hibur cowok itu dengan suara lembut.

Kalian pasti mengenal siapa cowok ini, bukan?

Tidak salah lagi, dia Alfa.

Sahabat, saingan, teman bertengkar, sekaligus pendengar yang amat baik bagi Aliya. Cowok cerdas yang kemarin meraih nilai ujian tertinggi di angkatan mereka, baik di ujian akademik mau pun tahfidz. Sedangkan Aliya ada di posisi kedua. Pencapaian yang cukup baik sebenarnya, namun ia rasa bagi segelintir orang, berada di posisi kedua tidak ada artinya ketimbang berada di posisi pertama.

Alfa adalah salah satu orang yang bisa mengerti akan keinginan untuk lebih fokus dalam melukis. Dia memiliki ketertarikan lebih besar di bidang seni. Kata Alfa, bakat istimewanya ini terlalu lama dibiarkan. Percaya atau tidak, cowok itu mendukung seratus persen Aliya untuk berkarir di bidang seni. Ia benar-benar ingin sahabatnya berjuang di jalan yang ia sukai.

Bagi Alfa, mungkin Aliya tidak lebih dari seorang sahabat. Namun bagi Aliya, ia tidak tahu apakah ia diperbolehkan atau tidak, ia tidak tahu apakah Alfa akan marah jika mendengarnya atau tidak, namun yang jelas, baginya Alfa lebih dari seorang sahabat sekarang.

Perasaan itu berhasil ia kubur jauh-jauh saat mereka masih SD. Namun entah bagaimana caranya, perasaan itu kembali bangkit. Dengan kuantitas yang lebih besar.

Cowok itu, Aliya benci mengakuinya, namun dia berhasil membuat gadis tersebut jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Apakah ... apakah Alfa juga memiliki perasaan yang sama?

- Aliya -

Aarrgghhh ... gak sabar banget mau nulis cerita tahun kedua mereka😭

Sedikitnya informasi, Aliya akan lebih banyak disorot di novel kedua ini. Karena dasarnya memang novel kali ini mengenai impian Aliya, caranya mengatasi orang tuanya yang terlalu over protective dan berekspektasi tinggi padanya, dan perasaan terhadap Alfa yang udah lama dia pendam. Novel ini dijamin lebih colourfull daripada Lentera Redup 🙏🏻🤣

🧑: Apa kasus orang tua Alfa bakal dibahas di sini?

Sedikitnya iya, namun untuk lebih detail dan tentang pelaku pembunuhan orang tua serta kakak-kakaknya akan diusut tuntas di novel berikutnya, yang akan menyorot kehidupan Rio dan Raisa.

🧑: Kapan ceritanya diupload?

Eh, hehehe ... kalau ini, sih, sayangkan aku belum tau. Diusahakan segera setelah aku menyelesaikan revisi Kita & Luka, LuNathan, dan Seluas Samudra. Ditunggu, ya!

Terima kasih banyak udah setia ngikutin cerita mereka sampai di sini. Sampai jumpa!

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang