Pada rencana awalnya, Alfa ingin berada di kamar hingga azan Magrhib berkumandang. Namun dia terpaksa keluar karena Ayyi memanggilnya keluar. Untuk membicarakan masalah sepele, apalagi kalau bukan tentang Kiara dan Yumna.
"Kemana kamu waktu mereka berdua butuh? Alfa, kalau seandainya adik-adik kamu kesusahan menerima pelajaran, harusnya kamu langsung membantu mereka! Kamu, kan, kakak mereka. Lihat ini, nilai try out jelek-jelek, bagaimana dengan nilai USBN nanti?" cerocos Ayyi tanpa henti. Beliau sibuk menunjukkan kertas yang dicoret dengan tinta merah kepada keponakan laki-lakinya itu.
Memang nilai yang tertera di sana tidak cukup besar. Hanya sekitar 50 atau 60. Yang pasti dibawah KKM.
"Alfa, answer me. Di mana tanggung jawab kamu?" Tatapan mengintimidasi Ayyi terus mengarah padanya. Namun sayangnya Alfa yang jelas-jelas sedang diintimidasi tidak peduli. Menurutnya, itu bukan urusannya.
Lama terdiam, Ayyi mendengus, frustrasi karena tak kunjung mendapat respons dari keponakannya. "Jawab Tante, Alfa. Kamu masih punya telinga dan mulut, kan?"
"Kenapa nggak mereka yang Tante Ayyi tanya? Mereka bisa, kan, belajar sendiri? Harusnya Tante bilang sama mereka, ada waktu, tuh, dibuat untuk belajar, bukan main!"
Alfa menghela napas berat. "Bilang saja kalau Tante cuma nyari celah buat marahin aku. Iya, kan?"
Wanita itu tak lagi mengangkat kertas ujian tersebut. Perlahan-lahan beliau menurunkan tangannya. "Maksud kamu apa, Alfa?" tanya Ayyi skeptis.
"Tante gak suka, kan, aku ada di sini?" ujar anak laki-laki itu tanpa menoleh ke arah tante-nya.
"Maksudnya?"
Anak laki-laki tersebut tidak berniat untuk merespon. Tidak peduli. Dia memilih untuk melangkah keluar kamar Tante Ayyi pun tidak bisa menahan kemarahannya. Tangannya terjulur menarik tangan Alfa, hingga membuatnya hampir terjungkal.
"Masalah Tante apa, sih?" seru Alfa. Karena suara mereka yang volume-nya terlalu besar, mau tak mau menarik perhatian saudara-saudaranya yang perlahan mengintip dari dalam kamar. Menenggak ludah sendiri karena melihat Alfa dan Ayyi sudah siap mengeluarkan emosinya masing-masing.
"Kamu tanya masalah Tante apa?" Mata Tante Ayyi tersorot tepat menusuk manik coklat keponakannya. Bukan sekali dua kali, Alfa berani menantang salah seorang dari anggota keluarganya. Dia tidak takut. Jika Datuk Ridwan, kakek mereka saja berani dia lawan, tentu dia juga berani melawan Tante Ayyi. "Masalah tante itu kamu tinggal di rumah ini! Masalah tante itu kamu lahir ke dunia ini!"
Mata Alfa masih mengarah tepat ke Ayyi. Tapi, tatapan itu seketika kosong. Tidak menunjukkan perasaan apa pun. Demikian pula hatinya yang seakan tertancap pisau.
"Kenapa kamu diam? Lawan saja tante seperti kamu melawan semua orang! Setidaknya tante bisa fokus bekerja buat menafkahi saudara-saudara kamu nggak ada di sini! Tante nggak akan repot lagi mengurusi kamu yang hanya bisa membuat masalah! Bahkan Kiara dan Yumna lebih baik dari kamu!" bentak Ayyi dengan wajah merah padamnya.
Tapi, tanpa wanita itu sangka, Alfa dengan kasar menepis tangan Tante Ayyi. Membuatnya meringis kecil. "Kenapa Tante gak bilang saja kalau selama ini Tante keberatan aku tinggal di sini? Kalau gitu, kan, aku gak perlu menolak tawaran Kakek untuk masuk pesantren."
"Aku tahu, kok, kalau nggak ada yang mengharapkan kehadiranku di sini. Beda, kan, sama Rio, Kiara, apalagi Yumna. Mereka, mah, spesial banget, kan, ya?" Senyum terpaksa Alfa membuat hati Ayyi terasa ngilu. Anak laki-laki itu tampak tidak peduli. Meninggalkan Ayyi yang diselimuti sejuta rasa bersalah. Membuat Syifa, Kiara, dan Yumna menghela napas resah. Nashwa yang keluar dari kamar. Beranjak perlahan mendekati Ayyi.
"Gak seharusnya Tante bilang gitu sama Alfa." Nashwa perlahan mendekati Ayyi. Berusaha menangkap sorot mata tante-nya yang mulai redup. "Kita gak punya alasan untuk membencinya, Tan. Dia juga sama sekali tidak tahu kenapa dia dibenci."
Ayyi menangis tergugu mendengar penuturan Kak Nashwa. "Harusnya kita menjaga perasaannya, Tan. Bukannya terus memojokkan dia karena masalah yang tidak pernah dia tahu."
- Ario -
Tidak ada yang nyaman jika bertengkar dengan keluarga. Terlebih Alfa yang sejak berumur enam tahun sadar kalau hubungannya dengan keluarganya hanya untuk menutupi rasa benci satu dua orang kepada anak itu.
Enam tahun hidup dalam sebuah sandiwara. Enam tahun hidup dalam sebuah drama. Enam tahun hidup dikelilingi orang-orang yang berakting. Bukankah cukup untuk membuatnya kehilangan rasa percaya pada keluarganya?
Tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa ia begitu dibenci. Semua orang mencoba meyakinkan kalau semuanya baik-baik saja. Padahal mereka sadar, kalau Alfa bukan anak kecil yang mudah dibohongi dan lebih mementingkan perihal bermain dari pada konflik keluarga seperti ini.
Dia benci kehidupannya sendiri. Tak ada yang benar-benar menyayanginya. Semua orang seakan tak pernah puas dengan apa yang dia lakukan. Dia hanya ingin keluarga yang sebenarnya. Yang saling menyayangi, bukan membenci. Yang harmonis, bukan penuh konflik.
Tangan dan kaki Alfa tidak berhenti bergetar setelah meninggalkan Ayyi begitu saja tadi. Tubuhnya meringkuk di kasurnya. Dengan tatapan mata kosong, tidak bermakna.
Sejak tadi jari-jemarinya menggenggam beberapa lebar foto. Entah kenapa dia selalu mengambil foto-foto tersebut jika tengah sedih atau kecewa. Tangannya perlahan mengangkat foto-foto itu. Sorot matanya mengarah ke sana. Perasaannya campur aduk. Antara senang, kecewa, dan marah terhadap orang-orang yang ada di foto itu.
Satu-satunya foto yang dia punya, di mana terdapat Alfa, Rio, Aliya, dan Raisa saat masih kecil. Membentuk sebuah lingkaran persahabatan saat pertama bertemu dulu. Mereka akrab bagai saudara. Sepakat untuk menjadi sahabat dunia akhirat. Memang menarik persahabatan mereka. Tapi tidak ada yang menyangka kalau beberapa tahun kemudian empat anak itu memutuskan hubungan satu sama lain. Saling tidak peduli.
Tanpa sadar, Alfa berkata lirih, "Dulu, kita janji untuk menikmati bahagia bersama. Dulu, kita janji untuk melewati duka bersama. Dulu, aku selalu berusaha untuk ada di sisi kalian. Tapi, kenapa waktu aku perlu kalian, kenapa nggak ada seorang pun yang datang?"
Dia mencoba berbicara dengan mereka. Meski tidak mungkin akan mendapat respon.
- Kiara -
![](https://img.wattpad.com/cover/184915752-288-k261085.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Redup {SELESAI}
Dla nastolatkówPercayalah, ini mungkin adalah kisah paling rumit yang pernah kalian temui. Namanya Alfa, remaja laki-laki yang bahkan baru menginjak bangku sekolah menengah. Ia adalah laki-laki kuat yang tumbuh dengan perlakuan kasar dari kakeknya. Ia adalah lak...