Family Talk

328 36 5
                                    

Om Angga dan Tante Ayyi datang beberapa menit setelahnya. Keduanya terlihat cemas dan tergesa-gesa menuju kamar yang diberitahu Kiara sebagai kamar tempat Alfa dirawat sekarang.


Begitu Kiara mengabarkan kondisi Alfa, mereka segera meninggalkan rumah dan bergerak menuju rumah sakit tersebut. Tidak saling mengabari sebelumnya, bahkan tidak tahu kalau mereka akan bertemu di sana. Mereka berpapasan di lobi rumah sakit, sempat bertegur sapa dengan canggung sejenak, lantas kembali melanjutkan perjalanan ke kamar rawat Alfa.

Dan di sinilah mereka. Tante Ayyi segera menghampiri Alfa yang masih terlelap di atas dipannya. Sementara Om Angga hanya berjalan mendekati Rio yang duduk diam di sofa. Ia menyentuh pundak keponakannya pelan. Membuat cowok itu menoleh. "Apa yang terjadi?"

Tenang, namun terdengar tajam. Itu nada khas Om Angga ketika sedang serius. Pria berusia tiga puluhan tahun itu menuntut penjelasan darinya. Biasanya jika sudah seperti ini, Rio akan segera menjawab tanpa banyak basa-basi. Namun berbeda dengan saat ini, ia tidak bisa fokus.

"Rio ..." Suara Om Angga terdengar lebih tegas. Cengkramannya di bahu Rio mulai menguat. Membuat cowok itu meringis pelan. "Jelaskan sama Om apa yang terjadi. Sekarang!"

Ruangan itu terasa lengang usai Om Angga berteriak demikian. Fokus Tante Ayyi kini teralih pada remaja laki-laki itu juga. Dia melangkah menjauh dari dipan Alfa, ikut berdiri di sebelah Rio. Wajahnya yang tadi terlihat cemas menjadi merah padam. "Apa yang terjadi? Kamu bilang kamu cuma nyusulin Alfa ke makam, kenapa bisa sampai seperti ini?" tanya Tante Ayyi dengan nada tegas.

"Ayyi, biar aku saja yang urus ini." Om Angga menegur. Ia tidak suka Tante Ayyi ikut campur saat ini.

Namun, Tante Ayyi sama sekali tidak peduli. "Rio, Kiara dan Yumna juga ikut bersama kamu tadi. Gimana kalau mereka juga ikut kenapa-kenapa? Kenapa kamu selalu bikin saudara-saudara kamu terluka, sih?"

Tubuh Rio bergetar hebat tepat ketika Tante Ayyi dengan tidak bersalahnya melontarkan kalimat itu. Hatinya merasa tertusuk. Diperlakukan seperti ini, membuatnya tahu apa yang Alfa rasakan selama ini.

"Jawab, Ario!" Sekali lagi seruan itu membuatnya tersentak. Dipojokkan oleh Tante Ayyi, ditambah bahunya dicengkeram kuat oleh Om Angga, membuatnya sulit bicara walau hanya sepatah. Ia ingin membahas apa yang ingin sekali ia bahas sejak tadi, tapi suaranya seakan tertahan di tenggorokan. "Apa -"

"Apa Tante tahu apa yang terjadi dengan Alfa selama ini?" Pertanyaan itu berhasil meluncur dengan sempurna pada akhirnya. Membuat hening yang menegangkan tercipta di detik selanjutnya. Baik Tante Ayyi maupun Om Angga menatapnya keheranan.

"Apa maksud ka-"

"Apa Tante tahu kalau Alfa mengidap asma persisten tingkat ringan?" Rio kali ini berani membalas tatapan tantenya.

Tante Ayyi bungkam. Ia tidak tahu apa pun soal itu. "Memangnya ben-"

"Apa Tante tahu kalau dia beberapa kali minum obat penenang?"

Om Angga ikut menatap Tante Ayyi setelah pertanyaan ini. Sorot matanya menunjukkan kalau ia terkejut dan kebingungan. Lalu dibalas oleh ekspresi Tante Ayyi yang tak kalah syok.

"Apa Tante tahu kalau selama ini dia sering nangis sendiri dan depresi karena semua kelakuan orang-orang di sekitar dia? Tahu?!" Volume suara Rio naik satu oktaf. Dia melupakan fakta kalau Tante Ayyi lebih tua darinya. Bodo amat dengan sopan santun. Dia tengah dibalut oleh emosi sekarang.

Wanita yang berprofesi sebagai dokter itu mundur beberapa langkah. Ia menutupi mulutnya dengan telapak tangan.

"Satu lagi ..." Napas Rio tersengal. Ia sejujurnya tidak kuat melanjutkan ini. Terlebih ketika tatapannya refleks terarah pada Alfa. Membuat dadanya semakin sesak. "Apa Tante tahu kalau Alfa bisa kayak gini karena dia kena panic attack setelah tahu alasan kematian Ayah dan Bunda?"

Demi kalimat itu, tatapan Om Angga terarah padanya. Matanya sempurna membulat. "Kamu ... kamu beritahu itu padanya?" tanya Om Angga dengan suara gemetar.

Tanpa takut Rio mengangguk.

Plak!

Tamparan itu membuat tubuh Rio jatuh terhuyung sampai mengenai tangan sofa. Tante Ayyi berdiri di depannya sekarang, menatapnya galak. "Kamu beritahu itu padanya?! Kamu beritahu semuanya?!"

Sekali lagi dia mengangguk.

"Kurang ajar! Kamu sepakat agar dia tidak pernah tahu semua itu! Kamu sepakat kalau kalian tidak akan memberitahunya!"

"Tapi nyatanya dia berhak tahu!" Ria membalas dengan seruan yang tak kalah keras. "Alfa ... dia berhak tahu semuanya! Dia anak Ayah dan Bunda! Dia yang kalian salahkan atas kematian mereka!"

Tante Ayyi masih menatapnya nyalang, tapi wanita itu tetap diam.

"Mau sampai kapan kalian membiarkan Alfa kebingungan hanya untuk mencari tahu kenapa orangtuanya meninggal?! Mau sampai kapan kalian membiarkan Alfa kebingungan mencari tahu alasan kenapa dia dibenci?! Sampai kapan?! Sampai dia jatuh ke titik terendahnya, kalah sama depresinya, kalah sama penyakitnya, dan akhirnya bakal pergi dari dunia? Iya? Itu yang kalian mau?!"

Air mata Rio menitik satu per satu. Pun demikian dengan Kiara dan Yumna yang sejak tadi hanya diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Bukan dia yang merasakan semua itu, Alfa yang merasakannya, namun membayangkannya saja Rio sudah tidak kuat. Bagaimana dengan Alfa yang selama tiga belas tahun hidup seperti itu? Apa yang dia rasakan selama ini?

Selama ini ... ia tidak pernah peduli pada saudaranya itu. Ia terlalu egois sampai memaksakan diri untuk menutup mata dan telinga. Tidak peduli dengan apa yang terjadi. Hingga apa yang tidak ia harapkan telah menjadi kenyataan.

Jika boleh, ia ingin sekali membayar tahun-tahun penuh keegoisan itu dengan membela adiknya malam ini. Ingin sekali.

Om Angga mengembuskan napas kasar. Sorot matanya terlihat sayu. Dia mendadak tak bisa mengatakan apa pun setelah mendengar semua itu. Diam-diam dia menyalahkan dirinya sendiri. Harusnya ia tidak egois untuk lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai paman Alfa. Ia pikir semuanya akan baik-baik saja, terlepas dengan sikap kejam kakeknya dan sikap Tante Ayyi yang lebih memprioritaskan adik-adiknya.

Juga dengan Tante Ayyi yang tercenung lama. Pikirannya kosong, demikian dengan sorot matanya. Ia mendadak tidak bisa memikirkan apa pun setelah Rio mengatakan hal tersebut. Ada perasaan bersalah, namun hanya sedikit saja.

Kelimanya terdiam dan sibuk dengan dirinya masing-masing. Sampai tidak menyadari jika ada orang lain yang mendengar percakapan mereka sejak tadi. Orang keenam di ruangan itu yang sejak tadi diam mendengarkan, namun juga diam-diam merasakan sesak.

Ya, orang itu adalah Alfa. Dia telah sadar. Sejak tadi matanya sudah basah. Ia menahan diri agar tidak terisak, namun gagal. Isakannya menarik perhatian Yumna yang berdiri paling dekat dengannya.

"Alfa!" Gadis itu berseru. Mengalihkan perhatian seisi ruangan. Alfa langsung membuang muka begitu Yumna mendekat kepadanya. Ia tidak mau memperlihatkan wajahnya. Memperlihatkan air matanya.

Ia mendengar semuanya. Semua pembelaan Rio untuk dirinya.

- Lentera Redup -

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang