Cerita yang Mereka Sembunyikan

206 36 2
                                    

Meski selama ini aku terkesan menjauhi,
namun percayalah, di dalam hati tak pernah bisa ada kata 'benci'

- Lentera Redup -

Napas Alfa naik turun sejak ia berusaha menjauh dari paviliun. Susah payah ia berlari karena dadanya yang mulai terasa sesak dan keringat dingin yang mengucur di pelipisnya.

Kalau bisa, ia ingin lari sejauh mungkin. Bukan hanya lari ke kamarnya, lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Bukan hanya berlari ke kamar mandi, lantas mengguyur tubuhnya dan menangis sambil meringkuk di lantai.

Seperti yang selalu ia lakukan setiap kali lukanya dibuka paksa.

Mungkin jika ada yang mengetahui kebiasaannya setiap kali dihadapkan dengan masalah, mereka akan mencemooh dirinya. Padahal mereka sedikit pun tidak mengerti tentang apa yang dirasakan oleh remaja laki-laki berusia dua belas tahun itu.

Jika ada yang mengetahui bagaimana ia ketika berinteraksi dengan keluarganya, mungkin ia akan langsung dicap sebagai anak yang tidak tahu terima kasih. Orang-orang hanya tahu kalau ia adalah anak yatim piatu, dan beruntung sekali karena masih memiliki keluarga besar yang bersedia merawatnya. Padahal mereka sedikit pun tidak tahu, apa yang Alfa rasakan selama berada di keluarga itu. Sedikit bahagia, namun lebih banyak sakit hatinya.

Kini, dia telah duduk di pinggir sungai sambil menyandarkan diri ke sebuah pohon. Pandangannya terlempar ke aliran sungai yang cukup deras. Tidak ada sembab di matanya, tidak ada sisa-sisa air mata, dia tidak menangis, hanya saja sorot matanya terlihat kosong.

Kemudian pandangan mata Alfa beralih ke tangannya yang sedang membolak-balik halaman sebuah buku dengan sampul cokelat dan ukiran nama kedua orangtuanya. Ia terlihat membaca-baca sekilas buku tersebut.

Ia pikir buku ini semacam diary kedua orangtuanya atau apalah. Tapi ternyata ia salah. Buku bersampul cokelat itu tidak lebih dari tempat ibunya menulis kumpulan kutipan-kutipan motivasi atau nasehat.

Alfa merutuk dalam hati. Apa manfaatnya buku ini? Ia tidak butuh tulisan ibunya sekarang, yang ia butuhkan adalah kebenaran.

Kenapa ayah dan ibunya bisa meninggal? Kenapa semua orang menutupi hal itu darinya? Kenapa ia dibenci oleh keluarganya? Seolah-olah dialah penyebab mereka meninggal.

Tunggu!

Alfa mendadak terdiam. Kalimat terakhir yang otaknya keluarkan membuat ia berpikir panjang.

Tangannya bergetar. Tubuhnya juga tiba-tiba terasa lemas.

Apakah ... apakah memang seperti itu? Apakah memang aku yang menyebabkan Ayah dan Bunda meninggal?

Tapi, bagaimana bisa?

- Alfa -

Entah kenapa, hati Alfa tergerak sendiri untuk berkunjung ke paviliun Kyai Anshar malam ini. Tangannya menggenggam buku cokelat milik kedua orangtuanya. Buku itulah yang menjadi alasan ia nekat pergi ke tempat itu.

Ummi Wulan tetap menyambutnya degan hangat sesampainya di sana. Membuat Alfa merasa bersalah karena sudah bersikap tidak sopan tadi siang. Ia dipersilakan untuk menunggu di ruang tamu, sementara Ummi Wulan memanggil Kyai Anshar yang katanya masih menyimak setoran Maryam dan Khadijah, kedua sepupunya.

Kedua mata Alfa menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Ia memperhatikan bingkai-bingkai foto yang tergantung di dinding. Hingga pandangannya berhenti tepat di sebuah bingkai berukuran 10 x 12 yang tampaknya sengaja digantung di tengah-tengah deretan bingkai itu.

Dadanya seketika terasa sesak kembali. Ia bisa memastikan kalau itu adalah foto keluarganya. Foto yang tampaknya diambil setelah ibunya melahirkan, berarti tepat setelah ia dan ketiga saudaranya lahir.

Ia mendekat ke arah dinding. Lalu entah dapat dorongan darimana, ia memberanikan diri menyentuh bingkai foto tersebut. Ada bahagia yang tidak bisa ia mengerti ketika melihat wajah kedua orangtuanya. Ada ruang hampa di hatinya yang mendadak terisi ketika ia bisa memandang wajah mereka, meski hanya dari sebuah foto.

"Setiap kali melihat foto itu, Abah selalu teringat dua hal."

Alfa menoleh ke belakang. Ia segera menemukan sosok Kyai Anshar melangkah pelan ke arahnya. Pria yang usianya sudah sepuh itu ikut memandang bingkai foto tersebut. Ada senyum pahit yang kemudian terlukis di wajahnya.

"Satu, Abah teringat orangtua kamu." Kyai Anshar menjeda kalimatnya sejenak. "Yasmin, ibu kamu, dia adalah perempuan cerdas. Terobsesi dengan dunia sastra sejak ia masih duduk di bangku sekolah menengah. Impiannya sangat banyak. Ia haus pendidikan, tidak pernah merasa cukup belajar. Semakin banyak belajar, semakin banyak pula ia berpikir bahwa masih banyak ilmu yang belum ia pelajari."

"Dan dia sungguh beruntung bisa bertemu dengan Hanafi, laki-laki yang penuh tanggung jawab. Dia lahir di keluarga yang terpandang dan sangat berkecukupan. Punya pandangan baik soal kehidupan. Mereka benar-benar pasangan serasi."

Alfa kali ini menoleh pada sang kakek. Ia mengernyitkan dahi. "Pasangan serasi?"

Kyai Anshar terkekeh. "Iya, pasangan serasi. Saling melengkapi hingga kematian menghampiri. Nyaris sempurna. Maka Abah tidak heran kalau anak-anak mereka juga mewarisi apa yang mereka miliki."

Laki-laki tua itu bisa melihat dengan jelas kalau terdapat binar antusias di kedua mata Alfa ketika mendengarnya. Seumur hidup, tidak ada yang pernah menceritakan orangtuanya seperti yang Kyai Anshar lakukan malam ini. Hal itu membuat Kyai Anshar tersenyum kecil. "Anak-anak mereka nyaris sempurna. Tumbuh dewasa tanpa didampingi orangtua, sejak kecil seringkali dihujani oleh hujatan, namun siapa sangka, justru hal itu yang mengantarkan masing-masing dari mereka menuju kesuksesan. Mereka istimewa, namun sayangnya, keistimewaan itu yang membuat semua orang berharap lebih pada mereka."

Kalimat terakhir itu membuat senyum Alfa memudar. Ia merasa kalau Kyai Anshar sedang menyindir dirinya. Bukannya ia terlalu percaya diri, tapi bukankah memang itu yang terjadi selama dua belas tahun ini? Itu yang ia rasakan selama berada di keluarga ini?

"Dua, yang selalu Abah ingat setiap melihat foto ini, adalah orang yang menjadi korban ambisi semua orang yang berada di dekatnya." Kyai Anshar mengusap bahu Alfa lembut. Bukan baru kali ini menyadari hal itu. Hampir setiap hari ia memikirkannya. Memikirkan cucunya yang hidup layaknya robot, harus mengikuti apa yang kakeknya mau. Tidak boleh memilih jalan hidupnya sendiri. "Andai saja ada yang mendengarkannya, mungkin dia tidak akan menjadi sosok remaja yang menutup diri dari semua orang. Mungkin ia akan lebih dari dari itu. Abah hanya bisa berandai, andaikan Abah tidak menjadi sosok yang telah menyakitinya juga, mungkin semua bisa berbeda."

Sementara Alfa hanya tersenyum pahit sebagai balasan usapan itu. Ia bingung mau memberi reaksi seperti apa. Malam ini Kyai Anshar melakukan dua hal yang rasanya tidak ia duga dari orangtua itu. Satu, Kyai Anshar bersikap baik sekali padanya. Dua, Kyai Anshar bahkan menceritakan kedua orangtuanya secara mendadak, tanpa alasan.

Tanpa ia sadari, pandangan Kyai Anshar kini tertuju pada buku cokelat yang tengah ia genggam. Beliau menyeletuk, "Ah, rupanya buku ini ada bersamamu. Pasti Ustadzah Nurul yang memberikannya pada kamu, kan?"

Alfa menoleh, lantas mengangguk. "Abah ..."

"Ya?"

Meski ada rasa ragu di hatinya, Alfa merasa harus menanyakannya sekarang. "Kenapa Ayah dan Bunda bisa meninggal? Kenapa Kak Nashwa dan Kak Syifa harus jauh-jauh sekolah di Bandung, sementara Abah sendiri punya pesantren? Kenapa hak asuh Rio bisa ada di tangan Om Angga? Kenapa ... semua orang sepertinya benci banget sama Alfa?"

Sudah kuduga dia akan menanyakan itu. Kyai Anshar tersenyum kecil. Ia menepuk pundak Alfa beberapa kali, lantas berkata. "Ada saatnya kamu akan tahu semua itu. Tidak semuanya harus kita bahas malam ini, kan? 'Rahasia-rahasia' itu akan terbongkar pada waktunya. Semesta sedang menunggu kamu siap untuk mendengar kenyataannya."

- Lentera Redup -

Lentera Redup {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang